Gus Mus, Kemerdekaan dan Manusia Merdeka

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 08:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id- Menjelang hari proklamasi 17 Agustus, isu kemerdekaan memang kerap menjadi sorotan. Tulisan mengenai sejarah perjuangan bangsa, refleksi atas pencapaian selama menjadi negara merdeka, serta makna dari kemerdekaan itu sendiri, menjadi perbincangan yang tak pernah usai.

Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri melalui “Jum’at Call”, sebuah unggahan yang memiliki pesan berupa nasihat keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dengan bahasa sederhana namun mendalam, ia membagikan pesan tentang manusia merdeka. Kyai pengasuh pesantren Raudhatul Thalibin ini, menjelang kemerdekaan (Jum’at/16/07) menuturkan dalam unggahannya “Orang yang benar-benar merdeka ialah mereka yang tidak tidak menyembah dan tidak memuja kecuali Allah, Tuhan mereka.”

Sebagai kyai pesantren, ulama kelahiran Rembang Jawa Tengah ini kelihatannya menekankan makna kebebasan spritual yang mendalam. Secara penjajahan fisik bisa dikata bangsa Indonesia telah merdeka, persoalannya merdeka tidak hanya sekedar itu. Lebih jauh, kemerdekaan jiwa dari segala bentuk perbudakan terhadap selain Allah.

Kebebasan ini dimaknai bahwa seseorang tidak terikat oleh dorongan hawa nafsu, melainkan sepenuhnya taat dan patuh hanya kepada Allah. Hal ini juga mencerminkan prinsip tauhid bahwa pengabdian kepada Allah adalah inti dari iman. Ketika seseorang hanya bergantung dan bersandar kepada Allah, ia sebenarnya mencapai kedudukan tertinggi dalam kebebasan, karena ia tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan atau kepentingan duniawi.

Baca Juga :  Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Jadi, bentuk kemerdekaan sejatinya seseorang ketika ia hanya menyembah dan memuja Tuhannya, Allah swt. Tidak lagi terkekang dengan mengagungkan harta, jabatan atua mendewakan sesama manusia. Manusia merdeka adalah mereka yang mampu melepaskan diri dari semua itu, serta mengarahkan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah semata.

Unggahan kiai kelahiran 10 Agustus 1944 ini, dalam konteks kemerdekaan Indonesia memiliki makna yang mendalam. Pesan ini menegaskan hakekatnya kemerdekaan tidak hanya merdekanya dari penjajahan secara politik ekonomi dan fisik seperti zaman kolonialisme, namun juga menggarisbawahi kebebasan spritual dan moral dari segala anyaman penghambaan terhadap selain Allah.

Merdekanya bangsa Indonesia dari imperialis kolonial adalah langkah awal menuju kebebasan. Namun, pesan Gus Mus tersebut nada-nadanya menempatkan manusia merdeka harus melampaui kebebasan fisik. Rakyat Indonesia juga harus bebas dari penjajahan mental dan spritual yang berapa ketergantungan atau ‘penghambaan’ terhadap kekuasaan, materi dan monopoli kebenaran yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Baca Juga :  Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Jika semua itu masih berlangsung, maka belum seutuhnya masyarakat Indonesia menjadi manusia merdeka. Budaya KKN yang hingga kini belum usai menunjukkan hal tersebut, bukankah salah satu tujuan kolonialisme mencari kekuasaan (Glory) yang menguntungkan pihak penjajah . Lalu pada bedanya dengan korupsi dan Nepotisme yang bersekongkol dengan kekuasaan? hanya menguntungkan pihak tertentu saja, sementara rakyat tertindas kemiskinan dan ketidakadilan.

Gus Mus mengingatkan mengisi kemerdekaan tidak terjebak dalam perbudakan modern seperti materialisme, konsumerisme atua ketundukan atas kekuatan duniawi lainnya. Dalam mencapai kemerdekaan hakiki dan mempertahankannya, bangsa Indonesia harus menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah dan dipuja.

Artinya segala kebijakan, tindakan dan agenda nasional harus selaras dengan nilai-niai yang digariskan Tuhan yakni nilai keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Hanya dengan menghindari penghambaan kepada selain Allah, kemerdekaan yang bukanlah titik akhir tapi awal dari perjuangan secara hakiki akan terwujud dan manusia merdeka tergapai.(*)

*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi
Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan
Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 

Baca Lainnya

Jumat, 16 Mei 2025 - 03:57 WIB

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Kamis, 24 April 2025 - 21:45 WIB

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

TERBARU

ilustrasi ijazah sebagai produk lembaga pendidikan

Kolomiah

Legitimasi Sistem Pendidikan

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

Educatia

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Jumat, 16 Mei 2025 - 03:57 WIB