Frensia.id – Haji hanya diwajibkan bagi muslim yang mampu, itupun cukup sekali saja seumur hidup, selebihnya sunnah. Meskipun ada kerinduan, kemampuan untuk berkali-kali haji, niatan tersebut lebih baik ditangguhkan.
Adapun biayanya dapat digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak yatim dan fakir miskin. Mengingat diantara mereka belum bisa mengeyam pendidikan dan besarnya angka putus sekolah di Indonesia.
Data terbaru angka putus sekolah di Indonesia mengalami peningkatan. Bersumber dari Kemendikbud tahun 2021/2022 dari semua jenjang yang putus sekolah mencapai 75.876 mengalami kenaikan pada tahun 2022/2023 menjadi 76.834. Badan Pusat Statik merilis 76% anak putus sekolah disebabkan karena finansial keluarga.
Tentu, data tersebut cukup memperihatinkan menginat pendidikan salah satu komponen penting kemajuan bangsa. Lebih dari itu pendidikan hak asasi yang melekat setiap manusia. Setiap orang pada dasarnya ingin mencicipi bangku sekolah.
Sering kita melihat anak kecil berlalu lalang mengais rongsokan demi membantu ekonomi keluarga serta beli seragam sekolah. Setidak-tidaknya dalam banyak pemberitaan kita disuguhkan seroang ibu rela bekerja rongsokan demi biaya pendidikan anaknya. Bocah 7 tahun harus jadi pemulung demi bisa sekolah, dan masih banyak yang tidak terekspos di media.
Melihat realitas semacam itu mungkin kita bertanya dimana pemerintah merangkul cita-cita pendidikan mereka, mengingat Negara punya kewajiban itu. Namun, tak seharusnya melulu mengandalkan pemerintah, angka putus sekolah dapat diminimalisir jika orang yang diberikan kelebihan harta memiliki kepedulian bagi mereka.
Misalnya orang kaya dan memilki kesempatan haji berkali-kali menanggalkan intensi/niat berhaji dan biaya hajinya diberikan kepada anak yatim atau fakir Miskin. Bayangkan saja, biaya haji sebesar 93 juta dijadikan biaya sekolah, berapa anak yatim dan fakir miskin yang sudah terbantu.
Mindset menghabiskan harta digunakan untuk haji berulang kali lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan hartanya untuk yatim dan fakir miskin adalah kesalahan. Bahkan, al-Ghazali menyebutnya sebagai tipu daya orang berharta.
Dalam Maqashid Al-Syari’ah menanggalkan berangkat haji berulang kali demi membantu biaya pendidikan anak yatim dan fakir miskin tidak dinilai mengabaikan menjaga agama (hifz al-din). Eksistensi agama Islam pun tidak terancam karena tetap banyak yang menunaikan ibadah haji.
Justru sikap seperti itu memberikan peluang bagi yang belum haji. Sehingga kewajiban agama dalam tingkat primer (daruriyyat) ini semakin eksis. Tidak hanya itu, biaya haji digunakan membantu biaya sekolah anak yatim dan fakir miskin dapat mengakomodir unsur maqhasid lainnya, yakni menjaga akal (hifz al-aql).
A. M. Najjar dalam Maqashid Al-Shari’ah Bi-Ab’ad Jadidah (2006) seperti dikutip A. Solikin menyebutkan beberapa aspek belajar dalam kaitannya dengan hifz al-aql salah satunya belajar ilmu pengetahuan dasar. Sebuah keilmuan yang bisa dipelajari di sekolah atau perguruan tinggi.
Pengetahuan ini tentu bisa didapat oleh mereka yang belajar dibangku sekolah baik tingkat SD, SMP dan SMA sederajat. Disinilah manfaat dan maslahat biaya haji yang diperuntukan membantu biaya pendidikan, seragam, buku dan perlengkapan lainnya yang amat dibutuhkan anak yatim dan fakir miskin.
Mendahulukan membantu biaya pendidikan anak yatim dan fakir miskin ketimbang haji berkali-kali dapat mengakomodir dua unsur Maqashid Al-Syari’ah sekaligus dalam satu ibadah. (*)
Wallahu alam
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum)