Frensia.id – Martin Van Bruinessen, seorang pakar barat yang dikenal luas dalam kajian Islam, khususnya tradisi sufisme Indonesia, menyebut bahwa tradisi dan naskah lokal tentang sufisme di Nusantara adalah harta karun intelektual yang patut dijaga.
Pernyataan ini termuat dalam penelitiannya yang berjudul Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1998 di jurnal Die Welt des Islams, Brill, Leiden.
Menurut Bruinessen, Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah tasawuf yang kaya dan menonjol. Kehadiran tasawuf di Indonesia, yang telah mewarnai peradaban Islam di wilayah ini sejak masa lampau, seharusnya menarik perhatian ilmiah yang lebih besar, tidak hanya dari spesialis regional tetapi juga dari komunitas akademik global. Namun, ia menyoroti bahwa kajian-kajian tentang tasawuf Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan kajian serupa di wilayah lain dalam dunia Islam.
Salah satu hambatan utama, menurutnya, adalah keterasingan linguistik. Banyak karya mendasar tentang tasawuf Indonesia ditulis dalam bahasa Belanda dan Indonesia, sehingga sulit diakses oleh akademisi dari wilayah lain.
Hal ini mengakibatkan minimnya interaksi antara sarjana Islam Indonesia dan akademisi yang meneliti tasawuf di bagian lain dunia Muslim.
Sejarah kajian ilmiah tentang sufisme di Indonesia berawal pada paruh kedua abad ke-19, bertepatan dengan perubahan kolonialisme Belanda yang beralih dari dominasi perdagangan ke kontrol teritorial langsung. Penetrasi Belanda ke wilayah-wilayah luar seperti Aceh dan Sumatra Barat mempertemukan mereka dengan gerakan-gerakan perlawanan yang sering dipimpin oleh tarekat sufi.
Dalam konteks ini, muncul apa yang disebut sebagai littérature de surveillance, yaitu kajian tentang tarekat sufi yang dilakukan oleh pejabat kolonial untuk kepentingan keamanan. Salah satu tokoh utama yang muncul pada masa ini adalah Snouck Hurgronje, yang disebut Bruinessen sebagai pelopor kajian Islam Indonesia di Leiden.
Meski begitu, kontribusi terbesar dalam kajian sufisme Indonesia tidak datang langsung dari Snouck, melainkan dari murid-muridnya. Mereka mulai mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan teks-teks karya para sufi Nusantara.
Namun, kelangkaan sumber tertulis dalam bahasa Melayu dan kompleksitas teks-teks kuno dalam bahasa Jawa atau bahasa lokal lainnya menjadi tantangan besar dalam perkembangan kajian ini.
Martin Van Bruinessen juga menyoroti pentingnya pekerjaan pendahuluan dalam penelitian, seperti pengumpulan, identifikasi, katalogisasi, dan transliterasi manuskrip.
Menurutnya, pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh akademisi ternama tetapi juga oleh banyak individu yang melakukan observasi lokal dan mencatat praktik-praktik sufisme di berbagai daerah. Kemajuan dalam proyek-proyek mikrofilm dan katalogisasi modern telah membuka akses yang lebih luas terhadap koleksi naskah besar Indonesia. Hal ini memberi harapan baru untuk kajian sufisme di Nusantara.
Namun, Bruinessen menekankan bahwa upaya ini harus dilanjutkan dengan serius. Banyak laporan penelitian, tesis, dan disertasi dari universitas-universitas di daerah menyimpan data deskriptif penting tentang praktik-praktik sufisme lokal.
Sayangnya, kondisi perpustakaan yang buruk di beberapa institusi berpotensi menyebabkan hilangnya harta karun intelektual ini. Ia mengingatkan bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah materi primer yang berharga bagi penelitian masa depan.
Dengan ketersediaan sumber daya dan teknologi saat ini, Bruinessen percaya bahwa penelitian-penelitian besar yang baru tentang sufisme Indonesia seharusnya dapat dilakukan.
Tradisi intelektual dan naskah-naskah lokal ini adalah aset luar biasa yang perlu dilestarikan demi memahami lebih dalam warisan Islam Indonesia yang kaya.