Frensia.id-Di balik kesan suci dan moralitas yang melekat pada pesantren, ternyata tersembunyi realitas lain yang cukup mencengangkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mashur Imam dan rekannya membuka tabir permasalahan serius terkait penyimpangan seksual dan diskriminasi yang terjadi di lingkungan pesantren.
Mashur Imam sendiri merupakan akademisi alumni UIN KHAS Jember dan dosen STAICI Situbondo. Ia berkolaborasi dengan beberapa akademisi lain seperti, Rif’an Humaidi dan Abd. Muhit dari UIN KHAS Jember, Irwan Fathurrochman dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup, Rejang Lebong, serta Mohtazul Farid dari Universitas Trunojoyo Madura).
Penelitian mereka telah terbit dalam Proceedings of the 2nd Annual Conference of Islamic Education 2023 (ACIE 2023) silam. Hasilnya dipublikasi oleh Atlantis Press.
Fenomena homoseksualitas, diskriminasi terhadap perempuan, dan anak di pesantren menjadi sorotan utama dalam kajian mereka. Begi mereka realitas memalukan ini memicu kekhawatiran sebagian masyarakat tentang apakah pesantren masih bisa dianggap sebagai sumber budaya luhur dan moralitas di masyarakat?
Kritik Terhadap Budaya Seksualitas Pesantren
Penelitian yang menyasar pesantren di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, menggunakan pendekatan teori strukturasi. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa setiap budaya atau tindakan sosial adalah hasil dari interaksi antara agen dan struktur. Dalam konteks ini, agen merujuk pada aktor individu atau kelompok dalam pesantren, sementara struktur mencakup norma dan nilai agama yang membentuk perilaku mereka.
Penelitian ini secara khusus mengkaji bagaimana agen dan struktur berperan dalam membentuk budaya seksualitas di pesantren. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana hubungan antara struktur yang ada—dalam hal ini nilai-nilai keagamaan—dengan agensi atau pelaku budaya pesantren terkait seksualitas? Lebih lanjut, penelitian ini juga mengeksplorasi model budaya seksualitas yang dianggap ideal untuk lingkungan pesantren.
Menguak Kompleksitas Struktur dan Agensi di Pesantren
Hasil kajian Mashur Imam,Dkk, mengungkap bahwa hubungan antara struktur nilai agama dan agensi dalam budaya pesantren sangat kompleks. Pola dominasi struktur, dalam hal ini norma keagamaan, mempengaruhi cara para aktor budaya (agensi) merespons dan membentuk budaya seksualitas di pesantren. Namun, tidak selalu norma-norma agama tersebut dapat diinternalisasi atau direfleksikan secara rasional oleh agensi.
Jika nilai-nilai agama tidak berhasil dikelola secara rasional, maka ini berpotensi melahirkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan moralitas agama, termasuk penyimpangan seksual seperti homoseksualitas dan diskriminasi terhadap perempuan serta anak.
Di sisi lain, jika nilai-nilai agama berhasil dikelola dengan baik oleh agensi, maka budaya seksualitas yang bermoral akan tercipta. Ini berarti bahwa kesuksesan dalam menjaga moralitas di lingkungan pesantren tidak hanya bergantung pada kekuatan struktur nilai agama itu sendiri, tetapi juga pada cara nilai-nilai tersebut dikelola dan diterima oleh para pelaku budaya di pesantren.
Membangun Model Budaya Seksualitas Ideal
Menurut penelitian ini, model budaya seksualitas yang ideal di pesantren harus dibangun dengan mengedepankan pemahaman holistik terhadap sejarah seksualitas dan transformasi hasrat seksual. Pengelolaan hasrat dari tingkat mikro, seperti kontrol diri individu, hingga menjadi erotisme makro, yang mencakup nilai-nilai keagamaan dan sosial dalam lingkup yang lebih luas, menjadi kunci dalam membangun struktur seksualitas yang sehat dan moral di pesantren.
Penelitian ini memberikan pandangan baru yang penting bagi perkembangan pendidikan pesantren, terutama dalam menghadapi tantangan modernitas yang semakin kompleks. Bagaimana pesantren bisa mengelola nilai-nilai keagamaan mereka di tengah perubahan sosial yang dinamis akan menentukan peran pesantren sebagai benteng moralitas masyarakat.
Masa Depan Pesantren di Tengah Sorotan
Kehadiran penelitian ini menantang kita untuk memikirkan kembali bagaimana pesantren, sebagai institusi pendidikan agama, merespons berbagai isu kontemporer yang berkaitan dengan seksualitas. Apakah pesantren mampu menjaga moralitasnya tanpa terjebak dalam penyimpangan struktural dan agensi, ataukah akan terjebak dalam kompleksitas hubungan antara norma agama dan perubahan sosial?
Bagaimanapun, penelitian ini membuka jalan bagi dialog yang lebih luas tentang reformasi dan penguatan budaya di pesantren, dengan harapan pesantren dapat terus berperan sebagai penjaga nilai-nilai moral di masyarakat, tanpa mengabaikan isu-isu penting seperti seksualitas dan kesetaraan gender.
Fenomena ini mengundang refleksi mendalam—tidak hanya bagi kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat luas—tentang pentingnya membangun budaya pesantren yang lebih terbuka, rasional, dan tetap berlandaskan nilai-nilai agama yang luhur.