Frensia.id – Dalam suasana penuh semangat memperingati hari santri nasional, ratusan santri dari berbagai pondok pesantren di Jember bersama mahasiswa dan tokoh lintas agama memadati Gedung Kuliah Terpadu (GKT) lantai III UIN KHAS Jember, Rabu (16 Oktober 2024). Mereka dengan penuh khidmat mengikuti seminar hari santri nasional bertajuk “Santri Gen Z : Muda, Toleransi, dan Produktif”, menjadi ajang yang tidak hanya seremonial tetapi ruang tebar inspirasi.
Seminar hari santri ini menghadirkan tiga narasumber dari dalam negeri hingga internasional dengan berbagai latar keilmuan yang berbeda. Ketiga narasumber tersebut Peter Brian Ramsay Cary, seorang sejarawan dari oxford university; Kalis Mardiasih, penulis, penggiat sosial, gender dan aktor; serta KH. Muhammad Jadul Maula, pengasuh pesantren, budayawan dan ketua Lesbumi PBNU. Berperan sebagai moderator Moh. Wasik, redaktur Frensia.id, penggiat filsafat di Dar al Falasifah Institute dan akademisi UIN KHAS Jember.
Peter Brian Ramsay Cary, dikenal sebagai sejarawan yang menggeluti penelitian tentang Pangeran Diponegoro dan latar belakang Perang Jawa, menjadi narasumber pertama membuka semangat perjuangan kaum muda dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peter Cary sapaan akrabnya, melalui via zoom mengajak peserta berkelana kembali pada perjuangan di surabaya tepatnya 10 Oktober, sebuah momen bersejarah yang sarat dengan kegigihan kaum muda.
“Dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, 10 Oktober di surabaya salah satu saksi heroik yang tidak bisa dilepaskan dari kemerdekaan Indonesia. Surabaya penuh orang-orang yang siap terjun ke jalan berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bung Tomo, Pada masa perjuangan ini mendirikan stasiun radio, untuk menyebarkan semangat perjuangan, dan bersatu melawan penjajah ” Ungkap Peter Cary sebagaimana kesimpulan moderator.
Penulis buku Kuasa Ramalan yang mengurai Pangeran Diponegoro ini menggambarkan pejuang pada masa itu mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Suara bung tomo dan lagu-lagu perjuangan yang disalurkan melalui radio menggugah semangat ikonik, menggerakkan rakyat untuk bertindak dan berjuang dengan berani.
Gelora Api Revolusi revolusi Indonesia 1945-1949 yang disampaikan oleh Peter Cary mengulik jejak sejarah perjuangan memberikan inspirasi bagi Kaum santri di era digital. Menanamkan para santri gen z untuk berjuang untuk negeri Indonesia. Hanya saja, berjuang di zaman sekarang tidak sama dengan cara berjuang seperti era Bung Tomo yang mengandalkan saluran siaran radio. Hari ini, santri harus menguasai media sosial sebagai medan juang mengukuhkan kemerdekaan Indonesia.
Kalis Mardiasih, Narasumber kedua mengkonfirmasi bagaimana sikap santri di era revolusi digital saat ini, ia menekan santri harus produktif dan terus mengkampanyekan kebaikan menebar inspirasi. Sebagai Penulis, penggiat gender dan media sosial, Kalis sapaan akrabnya mengulas pentingnya transformasi digital bagi santri.
”Santri harus keluar dari cara pandang lama, bahwa menjadi santri adalah ndeso, tidak maju, dan terbelakang. Hari ini banyak santri yang sudah bersaing, memberikan dampak positif dalam berbagai bidang. Santri harus menjadi penggerak dalam memutus siklus kemiskinan, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan” Ujar Kalis seperti dalam kesimpulan moderator.
Perempuan kelahiran Blora, 1992 yang juga dikenal sebagai aktor ini melihat santri memiliki peluang besar untuk mengisi platform digital sebagai sarana menyebarkan narasi-narasi kebaikan, toleransi dan konten inspiratif lainnya. Menurutnya, media harus menjadi alat perjuangan kaum santri mengcounter siklus diskriminasi, ketidakadilan, serta memasifkan konten yang inspiratif.
Senada dengan semangat diatas, KH. Jadul Maula, memberikan sentuhan filosofis yang mendalam tentang santri, semangat muda dan semangat tanpa batas. Budayawan sekaligus pengasuh pesantren Kaliopak, Bantul, Yogjakarta ini menegaskan penyebutan “muda” bagi santri tidak hanya diukur dari usia, melainkan semangat dan idealisme yang tinggi.
“Santri harus muda, dalam artian bukan hanya usianya, tetapi semangat idealismenya yang tinggi . Mereka yang memiliki keahlian dalam segala bidang dan mandiri.” Tutur KH. Jadul Maula
Kyai kelahiran Pekalongan, 1969, saat ini menjabat Ketua Lesbumi PBNU menegaskan santri harus menyebarkan toleransi, mampu berkarya dan produktif di segala bidang. Ia mengutip perkataan Imam Al-Ghazali “kalau kamu bukan anak ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah”. Kutipan ini mengingatkan bahwa produktivitas dan inovasi yang dihasilkan dari seorang santri adalah bentuk jihad bagi negeri ini. Mereka berjuang dengan menginspirasi dan menebarkan kebaikan untuk negeri ini.