Frensia.id- Pandangan baru, Apakah wartawan hanya sekadar pemberi kabar? Pandangan tradisional melihat jurnalisme hanya sebagai perpanjangan tangan media yang tugasnya menyampaikan fakta kepada masyarakat.
Namun, sebuah perdebatan terbaru dalam dunia akademis mulai merubah perspektif ini: wartawan, dengan praktik yang mereka lakukan, dianggap layak diakui sebagai akademisi!
Dalam kajian yang mendalam, Chris Nash mengangkat kembali hasil evaluasi Excellence for Research in Australia (ERA) tahun 2010 dan 2012, yang memicu perdebatan hangat di kalangan akademisi jurnalisme.
ERA, sebagai alat penilaian kualitas riset di universitas-universitas Australia, berusaha mengukur standar riset dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk jurnalisme.
Namun, menurut Nash, cara evaluasi ini tidak sepenuhnya pas untuk mengukur apa yang dianggap sebagai “keunggulan” di bidang jurnalisme.
Apa yang membuat jurnalisme berbeda? Menurut Nash, jurnalisme bukan sekadar soal teori atau konsep. Ia adalah praktik yang berbasis pada hal-hal nyata, yang fokus pada masa kini, dan terikat erat dengan kepentingan publik.
Konsep ini, yang diperkenalkan oleh Stuart Adam pada 1994, membedakan jurnalisme dari studi komunikasi atau budaya yang cenderung lebih abstrak dan tidak selalu terkait langsung dengan peristiwa aktual.
Menurut Nash, inilah yang menjadikan jurnalisme sebagai disiplin akademis yang unik, yang perlu dilihat sebagai bagian tersendiri dalam dunia riset.
Artikel Nash juga merupakan tanggapan terhadap para akademisi di jurnal-jurnal terkini yang menyoroti hal serupa melalui bagian “Frontline”. Di antaranya, Bacon (2012), Abplanalp (2012), Gooch (2012), dan Fitzgerald (2013) yang sepakat bahwa jurnalisme memang memiliki karakteristik yang berbeda.
Mereka mempertanyakan, apakah standar penilaian ERA, yang kaku dan tradisional, bisa benar-benar menilai keunggulan penelitian dalam jurnalisme.
Nash dan koleganya menyatakan bahwa perlu ada cara khusus untuk menilai jurnalisme, karena praktik jurnalisme sebagai riset harus mencakup aspek-aspek baru yang kini makin kompleks dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan dinamis dalam masyarakat.
Perubahan teknologi, misalnya, memberi dampak signifikan dalam praktik jurnalisme. Dengan hadirnya platform digital, cara-cara baru dalam mencari, menyebarkan, dan bahkan mengevaluasi berita terus berkembang.
Proses tinjauan sejawat atau editorial yang ketat dalam dunia akademis juga harus disesuaikan, karena jurnalisme adalah bidang yang butuh kecepatan dan respons langsung terhadap isu-isu yang sedang terjadi.
Di sinilah Nash menilai bahwa penilaian kualitas riset jurnalisme harus beradaptasi—seperti halnya wartawan yang juga beradaptasi terhadap dunia digital.
Untuk membangun posisi jurnalisme sebagai disiplin akademis yang unik, Nash mendorong penggunaan literatur metodologis dari berbagai disiplin ilmu terkait.
Metodologi ini, katanya, harus dapat mengakomodasi sifat jurnalisme yang nyata, responsif, dan berbasis praktik.
Dengan cara ini, jurnalisme bisa memiliki pendekatan penilaian tersendiri yang relevan dan adaptif, sekaligus memastikan bahwa riset jurnalisme mendapat penghargaan yang layak di mata akademisi dan publik.
Harapannya, diskusi yang dipicu oleh Nash akan membangun jurnalisme sebagai bidang akademis yang diakui dan dihargai. Melihat jurnalisme sebagai praktik riset yang berdiri sendiri, membuka peluang besar untuk memperkuat peran wartawan di dunia akademis.
Di tengah era informasi yang makin cepat berubah, jurnalisme bisa menjadi pilar utama bagi riset dan pengetahuan, yang tidak hanya bermanfaat bagi akademisi, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Jadi, saat ini, wartawan tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga ilmu pengetahuan—menggiring kita untuk bertanya, “Apakah wartawan masa kini adalah akademisi yang sejati?”