Para Intelektual Berpengaruh yang Mempunyai Skandal dengan Perempuan, Ada yang dengan Ibu Kost

inteletual berpengaruh

Tidak semua intelek mempunyai pikiran terang yang koheren dengan kepribadian mereka sehari-hari. Mungkin hanya dalam dunia kesarjanaan Islam saja, seorang yang berilmu harus disertai dengan kepribadian, gaya hidup dan karakter yang baik pula, karena hal tersebut mempunyai arti pada tinggi-rendahnya ilmu seseorang.

Di Barat beda lagi, seseorang bisa dianggap sosok berpengaruh yang mana pikirannya mempunyai peran besar dalam merubah sejarah setelah diri mereka memberi kontribusi nyata setidaknya dengan mengarang sebuah buku.

Jika tidak demikian, maka bisa jadi sang intelek tersebut ide dan gagasannya menginspirasi orang-orang besar setelahnya.

Bacaan Lainnya

Apakah kemudian karakter mereka sesuai prosedur tata nilai yang berlaku dan atau menjadi sumber nilai tersendiri, hal tersebut merupakan persoalan lain yang perlu dikesampingkan.

Termasuk beberapa intelektual tersohor pada zamannya, atau barangkali pengaruhnya masih terasa hingga hari ini. Tetapi yang jelas namanya masih menjadi perbincangan dan idenya merupakan titik tolak dari ide-ide yang saat ini sedang dikembangkan dan digunakan sebagai cara pandang terhadap dunia.

Sayangnya mereka mempunyai sisi kelam dalam relasinya dengan perempuan, bisa dikatakan pada tataran tidak etis sama sekali. Berikut para intelektual yang nama dan idenya besar tetapi mempunyai skandal bersama perempuan.

Pertama, Rene Descartes, intelek kelahiran Prancis ini menjadi pencetus cara pikir yang disebut orang hari ini sebagai modern. Dimana era sebelumnya, cara berpikir harus mempunyai catatan kaki dari gereja. Maka orang bertubuh ringkih dan dengan daya tahan tubuh lemah ini memulai seluruhnya dengan bertolak dari ego.

Hidupnya diisi dengan berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia tidak menikah, tetapi pada saat ia menginap di rumah kawannya di Belanda, Descartes mempunyai hubungan dengan pembantu rumah tangga kawannya tersebut dan sampai hamil. Anak haram hasil hubungan tersebut, sang bapak tidak mau mengurusnya.

Kedua, G.W.F Hegel, dalam sejarah filsafat namanya tidak pernah bisa luput, ia adalah orang yang merumuskan secara mewah idealisme, sebuah aliran dalam filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai hakikat realitas.

Sebagai seorang profesor luar biasa di Jena dalam kondisi kecamuk perang, Hegel hidup secara prihatin, waktu itu ia tinggal di kost milik seorang perempuan yang telah bersuami, bernama Charlote Johanna Christiane Burkhardt. Kemudian menjalin hubungan asmara terlarang dan melahirkan seorang anak, yang diberi nama Ludwig Fischer.

Sebagai seorang bapak, anak tersebut justru ia tinggalkan, bisa jadi dikarenakan krisis ekonomi yang menimpa, agar tidak bertambah berat beban hidupnya. Kelak anak filsuf besar Jerman tersebut, menjadi serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia dan meninggal di Batavia terkena penyakit Malaria.

Ketiga, Karl Henrich Marx, para aktivis yang berhaluan kiri tidak akan pernah bisa melepas inspirasinya dari sosok ini. Ide-ide besarnya sampai hari ini masih menjadi perbincangan, sekalipun beberapa diantaranya tidak relevan. Tidak jauh berbeda kondisinya dengan Hegel, Marx adalah kutu buku, hari-harinya dihabiskan untuk membaca di perpustakaan London, Inggris sehingga ia kurang mengurus keluarganya.

Hanya saja nasib bersikap baik berpihak kepadanya, ia memiliki istri yang mencintainya dan mertua yang perhatian. Sehingga sikapnya kepada keluarganya tidak dijadikan masalah, bahkan mertuanya mengirimkan pembantu dari Jerman ke Inggris untuk mengurusi anak-anaknya.

Dengan pembantunya tersebut, Marx menjalin hubungan terlarang dan lahirlah seorang anak. Ia tidak mau mengurusi anak tersebut, maka temannya lah, Friedrich Engels, yang mencukupi kebutuhan hidup anak Marx.

Keempat, Jean Jacques Rosseau, pemikirannya mempunyai pengaruh yang besar, salah satunya terhadap revolusi Prancis. Ia juga mempunyai karya penting dalam dunia Pendidikan berjudul On Education, sebuah tulisan kunci pada pokok pendidikan kewarganegaraan. Buku yang tebal berisi mengenai asumsi-asumsi yang mendasari persoalan pendidikan, tetapi ironinya sang pemikir romantic ini bersikap sebaliknya.

Pada tahun 1745, Rosseau bertemu dengan seorang perempuan yang berprofesi sebagai pelayan binatu. Selanjutnya hubungan keduanya menjadi teman, kekasih dan suami-istri. Dari Perempuan tersebut lahir lima anak, sayangnya ia tidak mau mengurusnya dan meninggalkannya di panti asuhan.

Aneh juga, Rosseau yang fasih bicara tentang pendidikan harus bersikap demikian, seolah apa yang ia gagas dan sampaikan dalam bukunya sebenarnya tidak cukup ia yakini.