Frensia.id-Quick Count atau hitung cepat telah menjadi andalan dalam memantau hasil pemilu secara transparan dan efisien. Namun, penelitian Mahpudin, akademisi Universitas Gadjah Mada pada 2019, mengungkap bahwa teknologi seperti Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) tak luput dari kontroversi.
Kesalahan teknis dalam input data oleh penyelenggara pemilu menjadi celah yang memicu keraguan publik, bahkan menciptakan peluang delegitimasi hasil pemilu.
Mahpudin menyoroti bahwa di tengah era post-truth, kabar bohong dan isu negatif yang masif di media sosial memperkeruh suasana. Elite politik yang kalah sering memanfaatkan momen ini untuk memobilisasi massa dengan narasi ketidakpercayaan terhadap proses pemilu.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tergerus.
Pada Pilpres 2019, misalnya, kesalahan input data Form C1 di SITUNG menjadi sorotan. Tuduhan kecurangan oleh pihak yang kalah memicu demonstrasi dan memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap hasil pemilu.
Politisasi isu ini menunjukkan bahwa teknologi seperti Quick Count tidak hanya soal kecanggihan, tetapi juga bergantung pada konteks sosial-politik yang melingkupinya.
Meski demikian, SITUNG tetap dipertahankan KPU karena dinilai mendukung transparansi dan mencegah kecurangan pemilu. Namun, Mahpudin mengingatkan, teknologi hanyalah alat.
Keberhasilannya tergantung pada kepercayaan publik. Jika teknologi justru menimbulkan masalah, dampaknya bisa kontraproduktif terhadap demokrasi elektoral.
Menurut Mahpudin, kepercayaan adalah modal penting dalam demokrasi. Teknologi pemilu harus mampu menjaga hal itu, bukan sebaliknya. Sebab itu, perbaikan dalam penerapan teknologi pemilu menjadi kunci agar demokrasi Indonesia semakin kuat.