Frensia.Id– Banjir yang kembali merendam kawasan perumahan di Jember seharusnya tidak lagi dipahami sebagai peristiwa kebetulan.
Ini bukan semata akibat hujan deras, tetapi konsekuensi dari pilihan-pilihan pembangunan yang mengabaikan batas alam. Sungai meluap karena ruang hidupnya dipersempit. Alam sedang mengambil kembali haknya.
Sempadan sungai hilang, ruang resapan tertutup beton, dan alur air diperlakukan seolah bisa dinegosiasikan dengan izin.
Ketika hujan datang, air tidak punya tempat kembali. Maka rumah warga yang menjadi korban. Polanya berulang, lokasinya berganti, tetapi sebabnya tetap sama.
Sebagai akademisi yang menekuni isu pembangunan daerah, penulis melihat persoalan ini tidak cukup dijelaskan dengan argumen teknis drainase. Ini adalah persoalan paradigma pembangunan.
Terlalu lama kita memaknai pembangunan hanya sebagai pertumbuhan fisik dan ekonomi, tanpa menghitung daya dukung lingkungan.
Dalam teori pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pembangunan seharusnya memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan generasi mendatang.
Lingkungan bukan pelengkap, tetapi fondasi. Sungai bukan hambatan proyek, melainkan sistem ekologis yang menjaga keseimbangan wilayah.
Teori ini diperkuat oleh konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity), yang menegaskan bahwa setiap wilayah memiliki batas kemampuan alam dalam menampung aktivitas manusia.
Ketika batas itu dilampaui melalui penyempitan sungai, alih fungsi lahan, dan kepadatan bangunan, maka risiko bencana menjadi keniscayaan, bukan kemungkinan.
Menurut penulis, pembangunan yang melampaui daya dukung lingkungan bukan kemajuan, melainkan utang bencana yang suatu saat ditagihkan ke masyarakat.
Pengembang properti (developer) tidak bisa terus berlindung di balik izin administratif. Izin bukan pembenaran ekologis, apalagi pembenaran moral.
Ketika pembangunan hanya mengejar keuntungan bisnis, tanpa menghitung dampak lingkungan dan sosial, maka kerugian kolektif tinggal menunggu waktu.
Lebih dari itu, ada batas etika yang tidak boleh dilewati. Jika pengembang (developer) hanya memikirkan dirinya sendiri dan bisnisnya, tanpa memikirkan keselamatan warga dan keseimbangan alam, maka celakalah. Jangan membuat Tuhan murka dengan pembangunan yang serakah.
Alam selalu memberi sinyal sebelum menghukum. Sungai yang meluap adalah salah satunya. Dalam banyak kasus, banjir bukan kegagalan alam, tetapi kegagalan manusia memahami batas. Air tidak pernah salah alamat. Manusialah yang memaksa tinggal di ruang yang seharusnya milik sungai.
Di tengah situasi ini, saya melihat arah kebijakan yang patut diapresiasi dari Pemerintah Kabupaten Jember. Komitmen Bupati Muhammad Fawait dalam merumuskan RPJMD lima tahun ke depan, menunjukkan kesadaran bahwa pembangunan tidak boleh lagi memusuhi lingkungan.
Isu tata ruang, lingkungan hidup, dan mitigasi bencana mulai ditempatkan sebagai agenda strategis, bukan sekadar pelengkap dokumen.
RPJMD seharusnya menjadi kompas moral pembangunan daerah. Dalam hal ini, penulis melihat komitmen itu mulai dibangun dengan cukup serius di Jember.
Namun komitmen kebijakan harus diterjemahkan menjadi ketegasan di lapangan. Evaluasi izin lama, penertiban pengembang bermasalah, serta keberanian menghentikan proyek yang melanggar prinsip lingkungan harus dilakukan tanpa kompromi. Jika tidak, RPJMD hanya akan menjadi dokumen rapi yang kehilangan makna.
Banjir Jember adalah pelajaran mahal. Ia mengingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, pada akhirnya akan merugikan semua pihak, masyarakat, pemerintah, bahkan dunia usaha itu sendiri.
Sustainability, bukan jargon akademik. Ia adalah syarat agar pembangunan tetap manusiawi. Jika tidak, sungai akan terus meluap, dan kita akan terus bertanya: mengapa bencana datang lagi?.
Padahal, jawabannya sudah lama ada di depan mata.
Penulis: Irfan Kharisma Putra, S.AB., M.AB., C.DM., C.PS., CSEM.
(Dosen Universitas Brawijaya, Malang).







