Bagaimana Sebenarnya Manusia Menggunakan Pikirannya? Begini Menurut Salah Seorang Ahli

ilustrasi orang berpikir (sumber: pixabay)

Barangkali kita belum pernah berpikir bagaimana cara kita memikirkan sesuatu? Atau bisa jadi pernah melakukan hal tersebut, akan tetapi tidak sampai pada sebuah kesimpulan akhir. Sehingga proses berpikir kita akan cara kerja pikiran kita sendiri tidak selesai.

Hal tersebut dirasa rumit karena yang menjadi objek pikiran adalah pikiran itu sendiri. Lebih-lebih secara praktis, yang penting pikiran sudah menghasilkan sebuah produk yang sesuai dan memberi manfaat pada sebuah kondisi tertentu, maka dirasa sudah cukup.

Baru setelah kita tidak dapat menghasilkan sebuah ide yang dibutuhkan dalam momen mendesak, maka pada saat itulah, mungkin, kita akan mulai berpikir kenapa pikiran kita tidak bisa dimanfaatkan, apa ada yang salah?

Untuk mengetahui bagaimana pikiran manusia bekerja, perlu diketahui beberapa perangkat dalam tubuh manusia yang mana mempunyai fungsi untuk saling menunjang dalam pembentukan ide.

Menurut salah seorang pemikir asal Prancis, Rene Descartes, manusia terdiri dari dua subtansi, pertama adalah tubuh dan kedua adalah jiwa.

Sedangkan otak sebagai perangkat fisik yang mempunyai keterampilan untuk mengorganisir ide dan mengatur tata kelola sistem, dibekali sebuah fitur kecil yang berfungsi untuk menghubungkan rangsangan dari dunia fisik (tubuh) ke dunia yang non-fisik (jiwa), bernama kelenjar pineal.

Proses berpikir adalah gerak bolak-balik dari yang fisik menuju non fisik dan sebaliknya, dalam upaya memproduksi sebuah pengetahuan sebagai respon dari sebuah rangsangan.

Jadi apabila terdapat rangsangan yang mengenai tubuh, maka secepat kilat akan diterima oleh pikiran untuk kemudian diidentifikasi dan sesegera mungkin memberi intervensi ke tubuh sebagai bentuk tanggapan, tergantung pada bentuk rangsangan tersebut. Apakah sebagai ancaman atau tanggapan.

Jadi, semisal ada seekor nyamuk yang menggigit maka rangsangan tersebut akan segera diterima oleh otak, kemudian akan diidentifikasi jenisnya, ketika otak telah mengenal gigitan nyamuk sebagai sebuah ancaman, maka secara reflek tangan akan memukul dimana letak nyamuk tersebut hinggap.

Begitu pula apabila seseorang terlalu banyak minum kopi, maka otak akan segera meresponnya dengan memerintahkan asam lambung untuk turun. Kemampuan otak dalam kasus ini sangat mekanistis.  

Hanya saja kemampuan kualitas identifikasi masing-masing orang akan berbeda, hal ini pula yang membedakan kemampuan berpikir dari setiap orang juga berbeda.

Orang yang pernah digigit nyamuk dan juga pernah disengat lebah, maka sama-sama akan menyimpulkan rasa sakit dan tanggapan dari pikirannya adalah sama anatara mengusir dan menghindar.

Akan tetapi dari segi kualitas rasa sakit jelas sekali berbeda, dengan demikian pikiran akan disamping memberi klaim yang sama sebagai bentuk rasa sakit juga akan memberi cara respon yang berbeda pula.

Pengetahuannya mengenai rasa sakit yang pertama, semisal digigit nyamuk lebih dahulu, akan memberi kontribusi dalam mengingatkan kembali pada rasa sakit apabila ia mendapat serangan dari lebah.

Jadi rasa sakit yang ditimbulkan lebah bisa difahamai karena ia telah mempunyai pengalaman rasa sakit yang ditimbulkan nyamuk.

Tanpa adanya asumsi yang mendasari, sangat sulit bagi manusia untuk memahami sesuatu yang baru, ia harus menerka-nerka terlebih dahulu. Sedangkan ingatannya akan sesuatu adalah fasilitas yang dimiliki untuk memahami hal lain yang sejenis.

Secara fungsi pikiran, kondisi fisik juga sangat berpengaruh sebagai media untuk menghantarkan sebuah rangsangan. Semakin lambat memberi rangsangan maka produksi pengetahuan dan tanggapan terhadap hal tersebut juga akan terlalu lama.