Bulan Puasa Kenapa Disebut Ramadhan? Para’ Ulama’ Jelaskan ini

Ilustrasi Sumber Pixels @PNW Production

Frensia.id- Bulan puasa tentu jatuh pada bulan Ramadhan. Semua ulama’ bersepakat dengan hal tersebut. Sesuatu yang masih misteri adalah nama Ramadhan itu sendiri. Apa sebenarnya artinya dan bagaimana asal usulnya.

Ada beberapa ulama yang membahas tentang penamaan bulan puasa sebagai Ramadhan. Kajian Frensia.id berupaya meringkas pendapat-pendapat ulama’ tersebut sebagaimana di bawah ini;

Ramadhan Diartikan Musim Panas

Dalam al-Jauhari,  Ash-Shihah 3/1080–1081 dan Syekh Ibnu Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalal wal Ikram 7/18 menjelaskan Ramadhan disebut sebagai bulan panas. Jadi puasa menurut mereka diperintah pada musim panas.

Hal demikian tampaknya mengacu pada arti “Ramadan” berdasar akar katanya, yakni ر – م – ض . Maknanya adalah panas yang menyengat.

Musim panas ini dihitung berdasarkan kalender surya candra dari bangsa Babilonia yang umumnya dipakai di Arab. Penghitungannya menggabungkan gerak bulan dan matahari.

Pernah dikisahkan bahwa pada waktu itu, dari pagi hingga petang, batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh sengatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Ketika malam tiba, panas di bebatuan dan pasir tersebut sedikit mereda, tetapi sebelum dingin benar-benar terjadi, pagi hari sudah kembali.

Keadaan ini terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang dapat menyengat dan menghanguskan. Oleh karena itu, hari-hari dalam bulan kesembilan ini disebut sebagai Ramadan. Artinya, bulan yang panas yang menyengat atau menghanguskan.

Ramadhan Panas Membakar Dosa-dosa

Syech Ibnul Mulaqqin  dalam Al-I’lam bi Fawa’id Umdatil Ahkam 5/153 dan Syech asy-Syaukani Fathul Qadir 1/250 menjelaskan hal yang berbeda.

Keutamaan bulan Ramadan sebagai pelebur dosa-dosa merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam. Dalam bulan ini, umat Islam diwajibkan untuk menjalankan puasa dan dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, terutama di malam-malamnya.

Keutamaan ini diakui dalam hadits dari Abu Hurairah RA, di mana Rasulullah SAW menyatakan bahwa bulan Ramadan adalah waktu peleburan dosa-dosa. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep “maghfirah” (ampunan) dan “takfir” (penghapusan) disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Menurutnya, lafaz “maghfirah” memiliki makna yang lebih luas dan sempurna dibandingkan dengan “takfir“. Ampunan mencakup dosa-dosa besar dan melibatkan pemeliharaan serta penjagaan, sementara penghapusan lebih terkait dengan dosa-dosa kecil, mencakup penutupan aib dan penghapusannya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga menyoroti bahwa ketika kata-kata tersebut disebutkan secara sendiri-sendiri, masyarakat bisa memahaminya dalam konteks yang berbeda. Oleh karena itu, maghfirah dapat mencakup amal-amal buruk sekalipun. Penekanan pada ampunan dalam bulan Ramadan menunjukkan pentingnya kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ibadah yang ditingkatkan selama bulan suci ini.

Ramadhan Tidak Memilik Makna

Ibnu Taimiyyah  dalam kitab Syarh Umdah 1/36 menjelaskan bahwa Ramadhan tidak memiliki makna. Tidak banyak dijelaskan perihal pemakanan ini. Namun, secara garis besar, ulama’ yang memandangnya tidak memiliki makna. Allahu A’lam.