Di Babarsari, Peneliti Sebut Adaptasi Mahasiswa Papua Kurang Berhasil

Di Babarsari, Peneliti Sebut Adaptasi Mahasiswa Papua Kurang Berhasil
Gambar Di Babarsari, Peneliti Sebut Adaptasi Mahasiswa Papua Kurang Berhasil (Sumber: radarjogja)

Frensia.id- “Babarsari”, mendadak viral hari ini di media X, 19/06/2024. Keywordnya berjejer dengan informasi lain yang memang tengah viral. Salah satunya, daerah ini dianggap sebagai kota yang sering menjadi tempat konflik dan kerusuhan. Bahkan juga terlihat mahasiswa Papua di tempat kurang berhasil beradaptasi.

Tidak mengherankan, jika dijuluki gotham city yang sebenarnya berasal dari istilah fiktif yang menjadi latar utama peperangan Batman yang diterbitkan oleh DC Comics. Semuanya, karena sering terjadi kerusuhan di tempat ini.

Walaupun kota ini juga dijuluki “city of tolerance”, namun beberapa kerusuhan dan kesenjangan masih sering terjadi. Hal demikian yang diungkap oleh Maulida Masyitoh.

Bacaan Lainnya

Ia fokus mengkaji adaptasi mahasiswa Papua di daerah Babarsari. Hasil temuannya telah diterbitkan dalam Repository Universitas Gadjah Mada pada tahun 2017 lalu.

Masyitoh memandang bahwa walau menyandang predikat kota toleransi, kenyataannya mahasiswa Papua yang datang ke Yogyakarta sering kali menjadi korban stereotip negatif. Akibatnya, mereka kerap menghadapi tindakan rasisme dan diskriminasi sehari-hari seperti kesulitan mendapatkan tempat tinggal dan bahkan memenuhi kebutuhan seharinya.

Mereka seolah dipandang bukan manusia. Baginya, jika dibiarkan terus menerus, gesekan ini bisa memicu konflik yang lebih besar. Sebagai pendatang, mereka dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal.

Ia juga memandang bahwa perbedaan budaya Papua yang cenderung tegas bertemu dengan budaya Jawa melahirkan hal-hal yang penuh kerumitan. Kondisi demikian yang kemudian membuat mahasiswa Papua harus bekerja lebih keras untuk mencapai hidup harmonis di Babarsari.

Masyitoh memosisikan mahasiswa Papua sebagai pendatang di Yogyakarta dari sudut pandang mereka sendiri. Kemudian ia berupaya mencari faktor apa saja yang berdampak dan menghamat serius pada proses adaptasi mereka dengan lingkungannya.

Hasil temuannya tampak sangat penting. Ia menemukan bahwa sebenarnya motivasi mahasiswa Papua untuk kuliah di Yogyakarta dipengaruhi oleh faktor penarik dan pendorong, baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Adapun yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah ekonomi. Persaingan kerja di Papua yang semakin ketat, mempengaruhi cara pandang mereka dalam hidup di Babarsari.

Selain itu, sebagian besar mahasiswa asli Papua adalah mahasiswa dengan masa studi yang lama. Mereka yang berhasil menyelesaikan studi tepat waktu adalah mereka yang memiliki pergaulan luas, bersikap terbuka, dan adaptif terhadap nilai budaya Yogyakarta.

Pada intinya, secara garis besar, adaptasi mahasiswa Papua masih terbatas pada lingkungan sesama Papua. Mereka membangun kenyamanan tinggal di Yogyakarta dengan mereproduksi identitas daerah asal mereka seperti memakai tas noken, mengunyah sirih pinang, membuat MOP, dan bakar batu, serta melestarikan bahasa Papua.

Semua faktor di atas, tambah dipersulit dengan budaya komunal, kebiasaan minum minuman keras, boros, dan bahasa mereka. Bahkan, jika diperdalam, kondisi politik di Papua ditengarai juga berpengaruh pada mereka.