Frensia.id- Mungkin hanya sorot mata perempuan lah yang mampu menilai objeknya secara egaliter, termasuk terhadap lawan jenisnya. Ini lah yang terjadi pada Gus Dur, sapaan akrab KH Abdurrahman Wahid.
Sebagai seorang yang memiliki privilige, lahir dari keluarga terpandang dan hidup di lingkungan terhormat. Kakeknya, KH Hasyim Asy’ary, adalah Kyai besar dan pahlawan nasional. Ayahnya, KH Wahid Hasyim, salah satu founding father bangsa dan pahlawan nasional.
Nasabnya mempunyai jalur emas, meskipun dengan melihat itu semua, sulit untuk difahami bahwa Gus Dur sempat di tolak oleh seorang gadis, Sinta Nuriyah, yang kelak sebenarnya juga akan menerima dan menjadi istrinya.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Greg Barton dalam bukunya yang berjudul Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Ia mengulas sisi pribadi Presiden RI ke-empat tersebut, tidak hanya sepak terjangnya di pentas politik dan kiprah kepemimpinannya di PBNU, juga latar belakang kehidupannya. Khusus tentang tema ini, penulis asal Australia ini memberi tajuk judul secara khusus dengan “Sinta Nuriyah”.
Mengikuti istilah yang digunakan Barton, sebenarnya Gus Dur bukan ditolak pada saat itu, melainkan di beri jawaban yang mengambang.
“mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati hanya Tuhan yang tahu”.
Jawaban tersebut disampaikan setelah Gus Dur mengiriminya surat dari Mesir, pada pertengahan tahun 1966, mempertanyakan soal komitmen untuk menjadi istrinya.
Dinilai dari subtansi makna yang terkandung dalam jawaban tersebut, sebenarnya Sinta Nuriyah tidak menunjukkan kalimat eksplisit sebagai penolakan. Akan tetapi dapat dimengerti dalam tata bahasa kejiwaan perempuan, hanya ada dua opsi antara setuju dan menolak. Apabila kalimat yang terucap bukan persetujuan, apapun yang keluar artinya adalah penolakan.
Oleh karena itu jawaban Nuriyah merupakan bahasa lain yang telah diperlembut sebagai jalan penolakan. Entah apa yang mendasari, Barton tidak memberikan penjelasan akan sebab hal itu.
Posisi Nuriyah kala itu, adalah gadis yang lincah dan menarik dan menjadi rebutan pemuda kala itu. Sekalipun dalam budaya jawa era tersebut, seorang perempuan akan lebih terikat dengan keputusan orang tuanya, apalagi berkaitan dengan perjodohan, tetapi Nuriyah mendapatkan kebebasan dari lingkungan keluarganya untuk menolak atau menerima pemuda yang ia sukai.
Gus Dur sendiri dari segi fisik tampil kurang menarik, apabila dibandingkan dengan para remaja seusia waktu itu. Akan tetapi ia memiliki kepribadian yang halus dan pikiran yang tajam, sebagaimana yang tertuang dalam surat-suratnya. Mungkin itu yang menjadi satu-satunya daya tarik yang dimiliki putra menteri agama RI pertama tersebu.
Kalimat yang mengambang atau bisa disebut penolakan itu tidak lantas membuat Gus Dur berkecil hati dan mencari yang lain. Ia terus menulis surat-suratnya, menumpahkan rasa putus asanya belajar di Mesir.
Setelah menerima hasil ujian akhir pada pertengahan tahun 1966, ia menulis surat lagi kepada Nuriyah dan menumpahkan segenap rasa sedih atas kegegalannya. Tanpa disangka, Gus Dur memperoleh balasan yang menjadi hiburan, sebuah lampu hijau.
“mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tetapi paling tidak anda berhasil dalam kisah cinta”. Jawaban tersebut merupakan sinyal bahwa Sinta Nuriyah telah menerima cintanya, langsung saja Gus Dur mengirimkan surat kepada ibunya, untuk meminangnya.