Empati Natural dan Empati Artificial

Tuesday, 2 December 2025 - 19:37 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Empati (Sumber: Prastyo)

Ilustrasi Empati (Sumber: Prastyo)

Frensia.id- Dalam suatu wawancara menjelang bulan Ramadhan, seorang anggota DPRD Kabupaten Jember dari fraksi partai berlogo Banteng menyebut bahwa komisi D adalah komisi air mata. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu cakupan dari komisi D adalah Dinas Sosial. Sebagai lembaga yang mendapatkan amanah konstitusi, disebut dalam UU NO 13 tahun 2011 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Benar saja komisi ini berpotensi membuat pipi-pipi basah, hanya saja ada ‘tetapi’ nya. Karena tidak semua orang bisa menggunakannya dalam konteks ini. Memang benar semua orang bisa menangis sesuai kodratnya sebagai seonggok daging berjalan yang mengandung air mata. Untuk mengeluarkan air mata, banyak alasan yang dibutuhkan.

Menangis karena aktifnya daya peka sehingga seolah mampu atau nyaris merasakan apa yang diderita oleh orang lain, bisa saja itu adalah kutukan atau bisa pula anugerah. Dua hal yang berasal dari Tuhan dengan makna yang jauh berbeda.

Bisa benar disebut sebagai kutukan, apabila terlalu rapuh kepekaan diri tersebut sehingga gampang sekali merasakan derita dari orang lain. Sekalipun ini benar kelihatannya baik, jelas sekali sangat mengganggu kedaulatan diri. Ditambah lagi tipikal orang yang bersangkutan jauh dari rasionalitas. Untung-untung setelah merasakan perih yang dirasakan orang lain berlanjut dengan mencarikan solusi dan melakukan upaya-upaya pencegahan agar kejadian yang sama tidak terulang. Ia justru terjerembab dalam suasana kalbu yang terus kelabu. Kesusahan apapun pijakannya tidak mendapatkan alasan untuk dibenarkan, apapun itu.

Bisa benar disebut sebagai anugerah, manakala orang yang merasakan derita orang lain lantas beranjak untuk mencarikan solusi dengan segala kemampuan yang dimiliki. Ia berpikir secara rasional dan memahami batasan akan dirinya, sehingga tidak keras kepala untuk bersikap revolusioner, seakan-akan hendak merubah jalan yang ditetapkan oleh Tuhan. Tetapi kalau keras kepalanya dalam jalur merubah atau tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, maka sikapnya bisa dipertimbangkan kebenarannya. Pastinya kuasanya juga untuk memperoleh legitimasi.

Baca Juga :  Kiai, Amplop dan Keikhlasan Tak Terhitung

Apapun itu, entah kutukan atau anugerah, sebuah rasa empati tidak akan diperoleh oleh mereka yang dibesarkan dengan penuh kecukupan. Kasarnya omong, orang kaya tidak akan mempunyai daya empati secara natural. Barangkali ia mengerti apa itu empati, apa itu air mata karena sedih melihat orang lain sedih, tetapi ia tidak akan pernah mengerti apa yang diharuskan, diperbuat saat menjumpai penderitaan orang lain dengan cara yang benar. Artinya, lebih jauh, orang kaya, berkecukupan, tidak mempunyai nilai kebenaran untuk versi yang satu ini. Ia bisa saja dibenarkan untuk membaca tata buku masa depan, tetapi tidak jika menyangkut fakir miskin. Jawabannya karena ia tidak pernah miskin apalagi fakir.

Empati natural harus dibedakan secara tegas dengan empati artificial. Orang kaya bisa mempunyai rasa empati tetapi bukan berasal dari sesuatu yang murni. Sesuatu yang diperoleh dari kehidupan layaknya batu asah dan dirinya adalah sepotong belati yang mencoba untuk dipertajam. Setelah batu asah kehidupan benar-benar membuatnya tajam, maka ia benar-benar peka. Sedangkan empati artificial tidak lebih dari drama tangis, sedu dan haru tanpa mengerti dengan dasar pernah melalui.

Baca Juga :  Sesat Nalar Netizen atas Pesantren

Bukan menduga, barangkali ini yang menjadi dasar di ruang alam bawah sadar Menteri Sosial, Gus Ipul cenderung memburu penerima manfaat alyas bantuan yang terindikasi judi online untuk dihapus, dengan alasan tidak dipergunakan sepatutnya. Gus Ipul terindikasi empati yang dimiliki bersifat artificial atau apabila dibilang dengan bahasa yang lain, empati naturalnya kurang dominan apabila dibandingkan dengan empati artificialnya.

Dimana-mana dan sampai kapanpun selama peradaban masih waras yang namanya judi adalah perbuatan munkar, tidak hanya ditinjau dari aspek religius tetapi juga dari aspek sosial. Sebelum atau sesudah Rhoma Irama bernyanyi Judi meracuni keimanan, Judi meracuni kehidupan. Yang namanya judi adalah racun. Itu sudah disepakati. Anehnya kenapa orang kurang mampu yang diburu, pertama dilucuti bantuannya dan kedua ditelanjangi kesalahannya. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang kurang mampu yang semestinya dirawat oleh negara dicari-cari kesalahannya.

Bukankah sebaiknya, jika memang Kementerian Sosial hendak menerapkan kebijakan untuk menumpas Judi di lingkungan Kementerian, tidak dimulai dari para penerima manfaat, yang mana datanya terakomodasi secara sistematis di dalam DTSEN. Melainkan dari seluruh birokrat yang ada di dalamnya, tidak hanya dari pemangku jabatan tertinggi kementerian bahkan hingga level paling bawah. Setelah itu baru kemudian, sebagai seorang Gus benar-benar menjadi seorang yang bijak dalam berbuat dan berperilaku. Sedangkan yang dilakukan sekarang adalah sebaliknya.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Hari Guru, Untuk Siapa?
Kiai, Amplop dan Keikhlasan Tak Terhitung
Sesat Nalar Netizen atas Pesantren
Kasak-Kusuk Tepuk Tangan Sakinah
Denting Nurani di Tengah Dentuman Horeg
Perempuan Polos dan Politik
Wadul Guse dan Paradoksnya
79 Tahun Bhayangkara: Kita Butuh Polisi Pembela Kaum Lemah

Baca Lainnya

Tuesday, 2 December 2025 - 19:37 WIB

Empati Natural dan Empati Artificial

Tuesday, 25 November 2025 - 18:53 WIB

Hari Guru, Untuk Siapa?

Saturday, 18 October 2025 - 13:59 WIB

Kiai, Amplop dan Keikhlasan Tak Terhitung

Friday, 17 October 2025 - 15:37 WIB

Sesat Nalar Netizen atas Pesantren

Sunday, 28 September 2025 - 13:08 WIB

Kasak-Kusuk Tepuk Tangan Sakinah

TERBARU

Ilustrasi Empati (Sumber: Prastyo)

Kolomiah

Empati Natural dan Empati Artificial

Tuesday, 2 Dec 2025 - 19:37 WIB