Frensia.id- Siapa sangka kumpulan logam tak berharga bisa dibandrol seharga 1 juta. Apa gunanya uang segitu hanya untuk memiliki gembok, paku, per, peniti, bulu unggas dan logam lainnya yang bisa dilihat sendiri pada jepretan mahakarya luar biasa tersebut.
Materi-materi tersebut dilekatkan pada papan tripleks disemprot warna agar tampak eksotis. Kemudian lantas dipajang di dinding. Proses inilah yang dilakukan oleh seorang guru SDN Gadingrejo 03, Umbulsari, yang bernama Hakiki.
Pria berkacamata ini berdomisili di Dusun Kandangrejo, Desa Sukoreno, Kecamatan Umbulsari disamping berprofesi sebagai seorang guru, kesehariannya ia dedikasikan untuk passion yang dimiliki, yakni di dunia seni.
Berdasarkan objek utama dari karya seni yang digarap, Hakiki memberi nama “Gembok Kehidupan”. Seperti yang terlihat, jika yang paling menonjol dalam karyanya itu adalah gemboknya. Paku, peniti, bulu dan lainnya hanya selingan.
Orang yang tidak terbiasa dengan karya seni, pasti tidak mungkin tertarik. Yang ia lihat dan temukan pasti hanya sebuah logam saja. tidak keindahannya apalagi kebermaknaannya. Ujug-ujug mau mengeluarkan dana untuk memilikinya, meliriknya pun barangkali tidak.
Karya seni selalu diminati oleh mereka yang berjiwa seni. Bukan yang meminati keindahan saja, semisal lekuk gunung, gelombang air, pelangi atau keindahan yang umum.
Secara teknis memiliki “gembok kehidupan” harus dengan merogoh kocek sebesar satu juta, kiranya dianggap berat dan tidak masuk akal, mubadzir. Karya seni yang dibuat oleh guru SD ini mengingatkan kepada sebuah pisang yang ditempelkan di dinding, di galeri Miami Amerika Serikat dan dihargai dengan 120 ribu dolar atau sekitar 1,9 miliar apabila di konversi ke rupiah.
Buah itu merupakan salah satu dari pameran karya seni rupa Art Basel pada pertengahan bulan Desember 2019. Senimannya atau bisa disebut penempelnya di dinding bernama Maurizio Cattelan, pisang tersebut diberi nama comedian.
Dengan harga yang sangat fantastis untuk sebuh pisang yang bisa ditemukan oleh siapapun di pasar dan bisa ditempelkan didinding manapun, toh juga laku dengan angka tersebut. New York Post memuat peristiwa tersebut dengan diberi judul “Art World Gone Mad”.
Sama halnya dengan gembok kehidupan, pisang itu mengajak para penonton untuk terkesima dan mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan seni.
Secara umum orang akan mengartikan seni sebagai sesuatu dari yang estetik. Barangkali itu ada benarnya, akan tetapi hal tersebut ternyata bukan definisi. Menurut salah seorang pengajar filsafat, Bambang Sugiharto menjelaskan seni memang identik dengan keindahan, akan tetapi tergesa-gesa mengaitkan seni dengan sesuatu yang indah akan menghasilkan sebuah kesalahan.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan seni adalah adanya kebermaknaan, dari sesuatu yang bermakna barulah sebuah entitas atau karya seni bisa dikatakan mengandung sisi estetika.
Jika kita melihat karya lukis abstrak. Maka yang menjadi pertanyaan apa indahnya? Bukankah lebih menarik melihat lukisan air terjun dan gunung daripada karya seni yang mirip cakar ayam.
Tetapi seni itu tidak harus identik dengan keindahan. Bisa dikatakan keindahan tidak datang terlebih dahulu, melainkan kebermaknaan. Lukisan abstrak yang mirip cakar ayam apabila ditemukan maknanya yang dalam maka keindahan akan dapat diserap dan dinyatakan ada.
Begitu pula dengan “Gembok Kehidupan”. Ia akan mendapatkan ruang dihati mereka yang melihatnya. Setelah mereka menemukan makna terlebih dahulu, baru kemudian ia menyatakan indah.
Jelas dengan begitu keindahan bermula dari kemampuan seseorang untuk menyibak makna. Sedangkan makna bisa tampak melalui kejelian akal pikiran. Artinya mereka yang mempunyai akal pikiran yang jernih dan jeli atas segala sesuatu dapat merasakan keindahan hidup ini.
Memikirkan nama dari kumpulan logam itu sebagai “Gembok Kehidupan”. Kalau diperhatikan secara hati-hati nama tersebut dirasa pas. Soalnya seseorang dalam hidupnya pada hakikatnya sedang digembok oleh takdirnya masing-masing.
Apapun yang sedang diperjuangkan apabila tidak ada ketentuan takdir, maka itulah yang dibahasakan sebagai kegagalan. Apapun yang akan terjadi di masa depan, sebenarnya sudah ditakdirkan. Berarti apa yang akan terjadi sesungguhnya sudah terjadi.
Paku-paku kehidupan yang seolah menjadi ancaman seseorang. Dipahami oleh akal sehat sebagai sesuatu yang harus dijauhi ternyata tidak memberikan dampak apapun. Karena seseorang telah digembok oleh takdirnya sendiri.
Begitu juga dengan sayap-sayap kehidupan yang disimbolkan dalam karya tersebut dengan bulu. Dimaknai sebagai potensi terbang dan melambung dari seseorang atas segala keinginan dan cita-citanya. Ternyata apabila telah digembok, maka sayap-sayapnya menjadi patah dan terbakar.
Nyatanya seseorang yang telah tergembok oleh takdir. Tidak membutuhkan paku agar bisa hancur dan tidak juga sayap untuk menggapai cita-citanya melainkan cukup apa yang telah tergembok dalam takdirnya lah yang akan menentukan jadi apa.
Sehingga sebab-akibat tiada berarti. Hukum kausalitas hanyalah kebiasaan dari cara pandang manusia melihat segala sesuatu bukan menjadi kepastian. Paku yang tajam bisa meletuskan balon yang rapuh, tetapi suatu ketika bisa jadi pakunya yang patah. Karena ketajaman bisa tidak berguna.
Bahkan jika merpati bisa terbang dengan sayapnya, tetapi ayam pun yang bersayap tidak mampu mengepakkan sayapnya untuk terbang. Beberapa pembaca akan menyatakan kalau sebabnya adalah sayap yang kurang lebar dan bobot yang terlalu berat.
Mungkin itu salah satu pemaknaan dari karya gembok milik Hakiki, jelas sebuah interpretasi tidak bisa berhenti dan mendapatkan pembenaran hanya melalui satu sudut saja. Masih banyak perspektif yang dapat diungkap mengenai gembok kehidupan, dan menjadikannya bermakna dan berharga satu juta.