Frensia.id – Guru honorer dan guru besar memiliki fungsi, peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional pada aspek pendidikan. Hal tersebut tertuang dalam konsideran UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, keduanya sebagai pendidik profesional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baik guru besar ataupun guru honorer harus diakui sama-sama memilki kontribusi besar dalam pembangunan nasional, utamanya dunia pendidikan. Namun, mereka dihadapkan dengan perbedaan nasib yang cukup signifikan.
Guru Besar, biasanya memiliki atribusi akademik yang memukau, tidak hanya kualifikasi akademik lebih tinggi serta pengalaman yang banyak, gaji dan tunjangan yang baik, status pekerjaan stabil sampai sebutan “prof” menjadi panggilan istimewa. Tentu hal demikian tidak salah, selama diperoleh dengan ketentuan yang berlaku.
Guru besar juga memiliki kesempatan untuk mengembangkan pengabdian akademik, melalui penelitian, publikasi dan berpartisipasi dalam konferensi. Sehingga tidak mengherankan, guru besar menjadi impian bagi mereka yang memiliki profesi sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Mulai dari jalur yang prosedural hingga melalui “jalan pintas” yang diduga bermasalah, dilakukan untuk memperoleh jabatan fungsional tertinggi ini. Meminjam bahasa Dedy Mulyana Guru Besar Unpad, di rubrik opini Kompas.com (16/07/2024) kebelet menjadi profesor, adalah realitas nyata hari ini.
Belakangan ini perbincangan guru besar mencuat pasca majalah tempo.co edisi 7 Juli 2024 mengangkat laporan utama ‘skandal guru besar abal-abal. Disebutkan motivasi menjadi guru besar tidak melulu soal ekonomi. Namun, dikehendaki untuk mendapatkan pengakuan sebagai intelektual. Pasalnya gelar tersebut diyakini bisa meninggikan harkat di hadapan orang lain.
Kendati demikian, tidak bisa semua guru besar dipukul rata hanya karena beberapa oknum, masih banyak guru besar yang jujur, memperoleh dengan etika akademik dan terus berkarya menebar inspirasi dan pengetahuan. Sebab dedikasi itulah, guru besar memiliki nasib yang istimewa dalam banyak aspek, terutama konteks dunia akademik dan pendidikan.
Berbeda dengan guru besar yang kerapkali dianggap punya nasib istimewa, guru honorer menghadapi kondisi yang sulit. Mulai gajinya rendah, tidak memiliki tunjangan yang cukup memadai dan pekerjaan mereka sering kali tidak stabil. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya kepastian ekonomi dan profesional yang signifikan.
Mirawati dalam Disertasi Pengaruh dedikasi, sikap dan jaminan kesejahteraan Guru terhadap kinerja guru madrasah tsanawiyah Pekanbaru, mengungkapkan tahun 2016, pemerintah menganggarkan tunjangan profesi guru untuk tenaga pendidik non PNS yang memiliki sertifikat dan memenuhi persyaratan administrasi. Anggaran yang dialokasikan sebesar 8 triliun, besaran ini masih jauh lebih kecil dari pada guru PNS daerah yang mencapai 71 Triliun.
Namun, dalam kenyataanya dari anggaran 8 triliun tidak semua guru non PNS yang bisa menikmati tunjangan profesi tersebut. Sebagian guru sangat susah untuk mendapatkan kesempatan tersebut, padahal para guru sudah tahunan bahkan berpuluh tahun mengabdi di sekolah sebagai guru honorer.
Cukup disayangkan, mengingat guru honorer layaknya guru besar yang sama-sama berperan dan berkonstribusi di dunia pendidikan, juga memiliki hak yang harus dipenuhi. UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen sudah mengatur hak tersebut. Tertuang dalam pasal 14 dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru honorer berhak atas upah yang layak, jaminan sosial, pelatihan serta pengembangan profesional dan hak atas kesejahteraan lainnya.
Guru Besar dan guru honorer adalah pendidik umat. Keduanya memiliki tujuan sama yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Walaupun tidak memiliki gelar setinggi guru besar, guru honorer sering kali menunjukkan dedikasi yang tinggi dan bekerja keras untuk memastikan siswa mendapatkan pendidikan yang baik.
Guru honorer mengabdi untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai moral, dan keterampilan kepada para siswa, dari lapisan dasar hingga menengah atas. Sehingga dedikasi mereka mampu menciptakan masyarakat yang lebih berpendidikan dan beradab.
Negara harus menyadari hal tersebut, memikirkan dan memperhatikan kesejahteraan guru honorer. Meskipun status, gaji, apresiasi tidak sama dengan guru besar yang memiliki nasib istimewa.
Penting bagi negara untuk memastikan guru honorer mendapatkan peningkatan gaji, jaminan sosial, kepastian kerja pelatihan dan pengembangan serta memberikan penghargaan dan pengakuan yang layak atas dedikasi dan prestasi mereka.
Meningkatkan kesejahteraan mereke, secara tidak langsung negara tidak hanya mempersembahkan apresiasi, tetapi juga memastikan kualitas pendidikan lebih baik. Guru yang sejahtera diyakini mendidik dengan lebih optimal, mereka lebih fokus tanpa dihantui kekhawatiran akan kebutuhan dasar sehari-hari mereka.*
* Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)