Frensia.id– Hasil sebuah riset, menjabarkan adanya hubungan santri, kopi dan perilaku moderasi. Bahkan ketiganya telah dihubungkan secara ilmiah.
Bagi banyak orang, secangkir kopi di pagi hari mungkin hanya rutinitas biasa. Tapi bagi santri di pondok pesantren, kopi adalah lebih dari sekadar minuman penghangat tubuh—ia adalah sahabat setia dalam setiap langkah pencarian ilmu.
Tradisi minum kopi di kalangan santri telah menjadi bagian integral dari budaya pesantren, sampai muncul ungkapan populer: “Santri kalau tidak membaca Al-Qur’an berarti minum kopi.”
Sebuah pernyataan yang menggambarkan bagaimana kopi menjadi penunjang produktivitas dan energi spiritual mereka. Di balik aroma khasnya, kopi menyimbolkan semangat, disiplin, dan kebersamaan yang erat di antara para santri.
Sebagaimana hasil penelitian yang disusun oleh Dini Safitri. Jurnal yang telah diterbit di Jurnal Komunikasi Islam tahun 2023 silam, membahas hubungannya secara ilmiah.
Menurutnya, kopi bukan hanya sekadar ritual harian. Di tengah tantangan modern, di mana radikalisme agama kerap muncul di media sosial, kopi telah menjelma menjadi alat penting dalam meneguhkan moderasi beragama di kalangan santri.
Moderasi, atau wasathiyyah dalam bahasa Arab, mengacu pada sikap hidup yang seimbang dan inklusif. Sayangnya, kelompok-kelompok radikal sering menyalahgunakan istilah ini, menciptakan narasi yang memecah belah dan membingkai Islam sebagai agama yang eksklusif dan kaku.
Melawan arus ekstremisme ini, para santri bergerak dengan cara mereka sendiri—membawa semangat moderasi melalui diskusi-diskusi santai ditemani secangkir kopi.
Ngopi di pesantren bukan sekadar waktu istirahat; ini adalah ruang refleksi di mana ide-ide besar tentang Islam yang damai, rahmatan lil alamin, didiskusikan. Diskusi ini memperkuat pemahaman Islam yang ramah dan terbuka, melawan narasi radikal yang kerap mempersempit makna agama.
Menariknya, budaya minum kopi ini juga membuka jalan untuk pemberdayaan ekonomi di kalangan santri. Dengan semakin populernya kopi di kalangan anak muda, pesantren mulai melihat peluang untuk memadukan tradisi dengan inovasi.
Kedai kopi pesantren mulai bermunculan, menawarkan pengalaman khas yang menggabungkan spiritualitas dengan bisnis modern. Bagi santri, ini bukan hanya soal mencari tambahan penghasilan, tetapi juga soal bagaimana membangun kemandirian ekonomi tanpa melepaskan identitas keagamaan mereka.
Selain mendukung kesejahteraan ekonomi, kegiatan berbasis kopi ini juga membawa misi lebih besar—menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat multikultural.
Dalam secangkir kopi, tersimpan filosofi kebersamaan yang merangkul perbedaan, dan para santri berperan penting dalam menyebarkan pesan-pesan kebajikan ini.
Di pesantren, kopi lebih dari sekadar minuman; ia adalah jembatan antara tradisi dan inovasi, antara spiritualitas dan ekonomi, serta antara moderasi dan ekstremisme. Dengan cara yang santai namun bermakna, santri menggunakan kopi untuk menyemai benih-benih toleransi dan keterbukaan dalam Islam.
Melalui kegiatan sederhana ini, pesan moderasi beragama tidak hanya disampaikan dengan kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata.
Bagi santri, secangkir kopi adalah simbol dari perjuangan mereka menjaga nilai-nilai moderasi di tengah dunia yang terus berubah.