Frensia.id – Hingar bingar pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Timur terus menyeruak dan mewarnai tanah air, tiga perempuan maju ke gelanggang, siap bertarung demi tahta tertinggi provinsi. Mereka adalah Khofifah Indar Parawansa (petahana), Luluk Nur Hamidah dan Tris Rismaharini
Ini baru kali pertama dalam panggung perhelatan pilgub jatim, tak tanggung tiga-tiganya perempuan semua. Kalau RA. Kartini masih ada, tampaknya ia tersenyum melihat publik masa kini diwarnai perempuan.
Khofifah, siapa yang tidak tahu sosok perempuan satu ini, namanya tak asing lagi di kancah politik, melenggang dengan tenang, ia tak ubahnya layang-layang di langit biru yang tak getar meski diterpa angin kencang. Pengalamannya menjadi Menteri dan Gubernur menjadi bekal mumpuni, sebuah prestise yang belum dimiliki dua kandidat lainnya. Namun, di balik itu semua perntanyaanya, akankah ia mampu mempertahankan tahta?
Di sudut lain, ada sosok yang dikenal tegas, masyarakat akrab menyebut Bu Risma, mashur dengan gebrakan-gebrakan ala superhero. Ia tak segan-segan turun langsung ke lapangan, mulai dari menata taman kota hingga resik-resik ‘preman’. Ia ibarat burung elang yang terbang rendah, senantiasa mencengkeram persoalan di akar rumput. Tapi, apa gebrakannya seperti saat memimpin Surabaya cukup kuat untuk menguasai daratan Jawa Timur yang luasnya mencapai 47.922 km2.
Terkahir, Kartini di Pilgub Jatim tahun ini, Luluk Nur Hamidah, untuk sosok yang satu ini lebih familiar di kalangan aktivis dan kaum intelektual. Ia pernah tercatat sebagai dosen teladan, mengajar di Universitas Nasional dan Universitas Nahdlatul Ulama. Luluk politisi yang gigih menyuarakan isu perempuan, lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Perempuan lulusan S2 di dua kampus ternama, UI dan LKYSPP Singapura ini ibarat angin sepoi-sepoi yang membawa aroma perubahan. Muda, cerdas dan punya visi besar. Tapi, jangan anggap remeh angin semacam ini, karena kadang bisa berubah menjadi badai yang menghantam tanpa aba-aba peringatan. Bukan tidak mungkin Jawa Timur, ia bisa susupi dengan palan tapi pasti.
Tiga perempuan tentu beda pula gaya kepemimpinan, yang jelas satu tujuan menahkodai Jawa Timur. Dibalik semangat dan harapan itu, ada pertanyaan besar yang menggelayut, apakah Jawa Timur siap dipimpin oleh Perempuan?
Setelah periode kemarin perempuan memimpin Jatim, kenapa pilgub tahun ini absen kandidat laki-laki? Apakah kepemimpinan perempuan sudah dirasa sesuai harapan? Padahal 14 kali gubernur Jatim hanya baru kemarin dipimpin perempuan, sisanya dinahkodai laki-laki.
Jangan salah persepsi, ini bukan soal gender, tapi tentang ekspektasi yang sudah terlanjur mengakar di akar rumput. Tradisi politik masyarakat tanah air, kepemimpinan perempuan sering dipandang dengan cara pandang yang skeptis. Apakah mereka cukup tegas? Apakah mereka bisa mengambil keputusan di tengah tekanan politik yang sulit?
Namun, melihat perjalanan politik yang memukau ketiga calon Jatim, rasanya bisa bernafas legas. Khofifah sudah teruji dalam rute politik nasional. Risma tak pernah gentar menghadapi kritik, suka ”resik-resik’ dan cukup tegas. Dan Luluk, dengan idealisme dan ketegasannya di forum-forum parlemen menyuarakan masyarakat ‘kelas bawah’, bisa menjadi angin sengar yang sangat didambakan masyarakat Jawa Timur.
Tentu saja, panggung politik tidak sekadar soal siapa yang paling kuat, siapa punya apa, dan siapa yang populer. Ini tentang siapa yang bisa menyeimbangkan idealisme dan pragmatisme, siapa yang dapat mendengarkan sekaligus bertindak, siapa mereka yang mampu mengayomi sekaligus bersikap tegas dan disiplin.
Dari itu, Pilgub 2024 ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, bukan momen gagah-gagahan panggung perempuan, namun soal memilih kompas dan masa depan Jawa Timur. Apakah masyarakat Jatim ingin perubahan baru, atau sudah merasa nyaman dengan pemimpin yang mereka kenal? Masihkah masyarakat memberi kesempatan pada ide-ide baru, apa sebalik nya masih terjebak dalam nostalgia masa lalu?
Di Pilgub Jawa Timur 2024, kehadiran tiga calon gubernur perempuan menandai sebuah babak baru dalam sejarah politik provinsi yang memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di pulau Jawa ini. Sebuah momen bersejarah yang memperlihatkan bahwa perempuan bukan hanya ikut serta, melainkan memegang peranan utama dan penentu arah masa depan Jatim.
Masyarakat Jatim kini bertanya-tanya, memprediksi siapa diantara mereka yang akan menaklukan kursi gubernur. Khofifah, dengan segudang pengalaman dan reputasinya, bisa saja dianggap sebagai kandidat terdepan, tetapi sejarah tidak selalu memberi jalan mulus bagi mereka sudah dikenal. Pilihan akhir ditentukan bagaimana masing-masing calon menyampaikan visi dan misinya, serta kelihaian meraih dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Satu hal yang pasti, siapapun pemenangnya, ia akan membawa harapan, cita-cita dan mimpi besar masyarakat Jawa Timur. Menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan lain di tanah air, bahwa perempuan tidak hanya punya ambisi mengisi perhelatan kursi kekuasaan, namun menyajikan bukti memimpin negeri ini.
Seperti ungkapan Kartini, “Habis gelap terbitlah terang”. Harapannya pilgub ini membawa terang bagi Jawa Timur, bersinar dan bercahaya dibawah kepemimpinan oleh satu dari tiga ‘Kartini’ modern ini. Semoga *
*Moh. Wasik (Presiden Mahasiswa UIN KHAS Jember, masa Juang 2017-2018, saat ini anggota LKBHI UIN KHAS Jember)