Frensia.id – Miris dan meneteskan air mata duka. Anak sebagai sumber kabahagiaan yang paling berharga dalam kehidupan rumah tangga terkadang tidak memperoleh perlakuan yang istimewa. Bahkan oleh sebagain orang — (oknum) yang tidak pantas digelari manusia –anak justru dijadikan ladang pelampiasan nafsu seksualnya.
Dari tahun ketahun nampaknya persoalan serius ini tidak kunjung reda. Bahkan tidak jarang pelakunya adalah orang terdekat dan orang tua anak sendiri.
Saat ini publik digegerkan dengan fenomena yang menjijikan, seperti dilansir dari Frensia.id seorang ayah bernama Septhedy mencabuli anak kandungnya sendiri. Ironisnya anak yang cabuli tersebut seroang bocah perempuan berumur 5 tahun dengan nama panggilan Sea.
Bisa jadi kekerasan seksual anak yang sama atau lebih dengan kasus diatas masih banyak terjadi namun tidak terpublis ke media, baik karena keterbatasan media, adanya ancaman dan sebagainya.
N. Katz Sanford (1981) mengingatkan sejak lama mengenai hal ini sebagaimana tertuang dalam Child Snatching, The Legal Response to the Abduction Of Childern, bahwa kekerasan seksual menjadi kekerasan yang selalu dialami oleh anak-anak, sehingga orang tua lebih hati-hati dalam menjaga anak mereka.
Lalu bagaimana jika yang melakukan kekerasan seksual itu justru orang tuanya seperti kasus yang dialami Sea. Hukuman seperti apa yang sepadan dengan perilaku bejatnya, sepadan dalam arti yang benar-benar adil?
Pada dasarnya, tindak pidana orang tua yang perkosa anak kandung telah diatur dalam ketentuan KUHP pada Pasal 294 ayat (1) KUHP dan Pasal 418 ayat (1) UU 1/2023.
Salah satu alternatif sanksi bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak adalah hukuman kebiri. Di Indonesia, hukuman kebiri diatur dalam PERPU RI No 1 Tahun 2016 yang mengubah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kaitannya jerat hukuman kebiri bagi orang tua yang melakukan kekerasan seksual pada anaknya sendiri diatur pada pasal 81 ayat 7 PERPU 1/2016 bahwa pelaku yang merupakan orang tua, atau wali atau orang yang mempunyai hubungan keluarga selain pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana juga bisa di hukum kebiri.
Kebiri adalah sebuah tindakan bedah atau memakai bahan kimia untuk menghilangkan fungsi testis pada pria dan ovarium pada wanita. Dalam dunia media dikenal dua kebiri yakni kebiri fisik dan kebiri kimia.
Di Indonesia menggunakan kebiri kimia dengan cara memasukkan/menyuntikkan zak kimia tertentu. Kebiri kimia tidak bersifat permanen, ini berarti bahwa efek-efek tersebut akan berhenti ketika obat tidak lagi diadminister.
Jika demikian adanya, masihkah hukuman kebiri kimia yang sifatnya tidak permanen itu dinilai adil? bagaimana jika korban mengalami luka berat, gangguan jiwa, bahkan hilangnya fungsi reproduksi dan meninggal dunia?
Dimana rasionalitas hukum, rasa keadilan jika demikian? Pelaku hanya menderita beberapa waktu saja, sedangkan korban hilang hak reproduksinya, hilang hak hidupnya? Maka hukuman kebiri yang adil tidak ada lain adalah kebiri permanen bagi pelaku seksual semacam itu.
Apalagi pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri. Baik secara etika dan hukum ia tidak layak mendapatkan perlindungan hukum. Disinilah hakim, jaksa, polisi, advokat menjadi harapan dari mereka yang sedang mencari keadilan bagi dirinya.
Hakim bukanlah corong undang-undang (la bouche de la loi) sehingga ia bisa memberikan putusan melebihi ketentuan yang tertuang dalam undang-undang secara normatif.
Hakim harus berani menjerat pelaku kekerasan seksual yang seberat-beratnya tanpa harus takut melanggar Hak asasi mereka sebab mereka secara sadar telah menghilangkan hak asasi orang lain.
Peranan advokat — khususnya advokat perempuan– dalam pendampingan hukum untuk anak korban kekerasan seksual sangat dibutuhkan. Mereka harus benar-benar didampingi sejak penyidikan hingga putusan pengadilan. Advokat yang bisa diharapkan oleh para pencari keadilan.