Oleh: Imam Muhajir Dwi Putra
Frensia.id- Membaca peristiwa sejarah melalui karya sastra tentu terasa berbeda dari buku, modul dan diktat di bangku sekolahan hingga perkuliahan. Perbedaan yang sangat mencolok dapat dilihat dari pembacaan (sudut pandang) dan penghayatan yang disajikan author.
Narasi yang dibangun oleh sastrawan sejarah merangsang imajinasi pembaca lebih aktif dalam melakukan interpretasi. Tidak heran, jika para pembacanya dapat menjiwai kejadian tertentu di masa lampau.
Kira-kira seperti itulah gambaran umum para penikmat sastra sejarah, dimana suatu peristiwa tidak disajikan sebatas pengertian bahasa dan istilah yang kaku mengikuti standar formal belaka, bila perlu penyebutan tokoh di dalamnya hanya sekedar formalitas sahaja.
Namun, mengetahui sejarah melalui karya sastra dan materi yang disediakan oleh instansi pendidikan adalah baik, megakses sejarah dengan membaca keduanya dapat memperkaya pengetahuan, di sisi lain tidak menjadi masalah jika mengetahui sejarah dari salah satu opsi tersebut.
Sedikit menyinggung masa kelam sejarah Indonesia, bangsa ini populer di kalangan bangsa lain karena kekayaan alam yang melimpah di darat dan laut, sehingga saat ini wilayah Indonesia masyhur dengan sebutan negara agraris dan maritim.
Namun demikian, Pramodeya Ananta Toer justru mengilustrasikan yang berbeda, ia menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negeri budak, budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.
Suatu penggambaran masyarakat Indonesia sebelum merdeka yang sarat dengan praktik-praktik dehumanisasi baik yang dilakukan oleh sebangsanya ataupun bangsa penjajah.
Pada masa pendudukan Belanda di Nusantara –Hindia Belanda-, awal mula penjajahan Nusantara dilakukan dengan taktik monopoli perdagangan oleh perusahaan dagang Belanda, VOC.
Selanjutnya, Belanda melancarkan politik adu domba antar penguasa, kemudian melakukan ekspansi wilayah dan mendirikan pemerintahan Hindia Belanda. Penjajahan dilakukan dengan menerapkan sistem cultuurestelsel (tanam paksa) dan kerja rodi atau kerja paksa terhadap pribumi.
Pasca keruntuhan pemerintah Hindia Belanda di Nusantara, yang menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Kedatangan Jepang di Indonesia sempat memberi masa depan cerah bagi penduduk pribumi melalui propaganda tiga A, yang dikenal dengan ‘Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang pemimpin Asia’.
Alih-alih membawa harapan positif kepada pribumi, kedatangan Jepang justru memiliki maksud dan tujuan yang tidak jauh beda dengan Belanda, yakni menjajah pribumi. Sistem kerja paksa dan tanam paksa (romusha) tetap diberlakukan.
Melalui pemberlakuan kedua sistem tersebut, penjajahan atas Indonesia menyisakan banyak korban yang berjatuhan, memunculkan bencana kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apaupun.
Dua karya sastra sejarah karya Pram yang berjudul “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels” dan “Perburuan” sarat dengan sejarah nusantara, sudut pandang humanisme dan kritik sosial. Menggambarkan keadaan dan situasi politik dan budaya masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan.
Karya ini dicetak oleh penerbit yang berbeda yaitu Lentera Dipantara dan Hasta Mitra.
Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dalam karya ini berasal dari beberapa sumber data berupa majalah dan buku lelangan pejabat Belanda yang tersedia di perpustakaan ayahnya dan buku-buku di kantornya, seperti ensiklopedi besar Winkler Prints.
Pram menyoroti dampak negatif dari kebijakan pembangunan dan pelebaran jalan raya pos sejauh 1.000 km di sepanjang pantai utara Jawa, dari Anyer hingga Panarukan.
Berbekal data-data yang dimilikinya, Pram menguraikan mitos lokal yang diyakini masyarakat. Misalnya, informasi geografi (perbukitan, pegunungan, rawa dan pantai), peristiwa penting yang menyangkut kemanusiaan, perubahan pola hidup masyarakat, potensi daerah di setiap kota/kabupaten yang dibangun proyek jalan raya pos
Daendels sendiri.
Semua dituliskannya sebagai bahan penguat cita-cita Revolusi sebagaimana yang terjadi di Prancis: “Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan”.
Daendels percaya bahwa “segenap manusia dilahirkan sebagai makhluk merdeka dan mempunyai hak yang sama”. Tapi sebagai peguasa, dari seorang revolusioner ia menjadi diktator yang bengis.
Sementara itu, karya Pram yang berjudul “Perburuan”, menjelaskan masa kelam penjajahan Jepang. Kata “perburuan” merupakan topik utama berkaitan dengan pemberotakan pribumi terhadap Jepang.
Lebih jelasnya, pribumi yang memberontak akan diburu sampai lubang semut hingga tertangkap kemudian dihukum penggal kepala atau ditembak.
Upaya pemberotakan diinisiasi oleh Den Hardo bersama dua kawannya Karmin dan Dipo. Hardo sendiri adalah pemimpin regu berpangkat Shodanco dalam pasukan PETA (Pasukan Pembela Tanah Air).
Akan tetapi, rencana itu tidak berjalan dengan baik, Karmin membelot dan menghilang secara tiba-tiba.
Akibatnya, pemberontakanpun gagal, Hardo dan Dipo diburu-buru Jepang, pejabat dan seluruh warga desa suruhan penguasa.
Selama perburuan, Hardo dan Dipo menyamar sebagai kere, menggelandang di setiap sudut kota, pinggiran jalan dan kolong jembatan.
Keberadaan Hardo sempat diketahui Jepang, dengan sengaja lurah kaliwangan (calon mertua) melaporkan keberadaannya. Lurah kaliwangan bermaksud mengajaknya pulang. Akan tetapi, ia mengetahui maksud dibalik ajakan tersebut yang tidak lain “menyerahkan diri kepada Jepang”.
Berbekal laporan lurah kaliwangan, secepatnya Jepang melakukan penggeropyokan, menyadari hal itu, Hardo bersembunyi di suatu gubuk. Secara tidak sengaja gubuk itu adalah tempat tinggal ayahnya setelah dipecat dari jabatan (wedana Karangjati).
Setelah bercakap-cakap dalam kegelapan gubuk itu, ayahnya begitu yakin jika seorang dihadapannya adalah Hardo anaknya sendiri, namun Hardo mengelak demi menyembunyikan identitas dan menganggapnya orang sakit.
Ia berhasil lari sebelum gubuk itu di periksa Jepang, ia bersembunyi di bawah kolong jembatan, bertemu dengan Dipo dan Kartiman (anak buahnya).
Pada sesi ini Pram memperlihatkan perbedaan pemikiran antara Hardo dan Dipo. Sebagaimana diceritakannya, Hardo dan Kartiman meyakini kekalahan Jepang tidak lama lagi, karena keduanya memiliki akses informasi dari media tulis.
Akan tetapi, Dipo menganggapnya hanya angan-angan belaka dan menganggap Hardo sebagai pengimpi dan prajurit goblok.
Akhir cerita ketiga kere itu tertangkap oleh Jepang tidak jauh dari Jembatan. mereka digiring oleh Keibodan menuju pendopo, sebelum mereka dihukum penggal, Jepang telah menyerah kepada sekutu dan Indonesia telah merdeka. Merekapun terbebas dan sebaliknya pun Jepang meminta ampun.
Kesimpulan, melalui karya sastra Jalan Raya Pos, Pram mengajak pembaca bersafari sepanjang pesisir utara pulau jawa, mengenal asal-usul dan kearifan lokal setiap daerah maupun peristiwa bersejarah yang pernah terjadi.
Mengenal lebih dekat Daendels berarti mengatahui sistem dan praktik kolonialisme dan imperialisme, lebih dari itu, pengetahuan tersebut menjadi pondasi dalam menyikapi atau melawan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme saat ini.
Sedangkan Perburuan, mengajarkan sikap teguh dalam mempertahankan prinsip dan nilai yang diperjuangkan, idealisme yang teguh disifatkan pada tokoh Den Hardo.
Pada prinsipnya, karya-karya itu mangajari bahwa sikap Idealis yang ditopang dengan informasi media, mutlak dibutuhkan bagi seorang pejuang. Tanpa keseimbangan dari keduanya seorang akan selalu dibayangi rasa takut dan kebimbangan bahkan penyangkalan atas realita yang terjadi.
- Penulis adalah Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.