Seperti yang dikisahkan Soekarno sendiri, dalam biografi yang ditulis oleh Cindy Adams dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Majalah Time pernah menulis, “Soekarno tidak bisa melihat rok tanpa terangsang”. Sebuah kalimat yang menyindir dan menjelek-jelekan orang nomor satu di Indonesia.
Sebagai seorang yang pernah berslogan “Amerika Kita Setrika, Inggris Kita Linggis”, Bung Karno sadar betul sentimen politis pihak Barat sudah menyinggung pribadinya. Ia menyesalkan akan hal tersebut.
Di lain tempat, majalah-majalah terbitan Barat lainnya juga pernah menggambarkan sosok Bung Karno sebagai Le Grand Seducteur, Sang Perayu Agung.
Sekalipun jurnalis Barat menulis dengan kerangka sentimen politis, tetapi faktanya Bung Karno adalah seorang presiden yang mempunyai banyak istri.
Pengaruh kewibawaan sebagai presiden menjadi bagian utama mengapa banyak wanita yang tertarik dengan Bung Besar ini.
Akan tetapi, dari pribadi Soekarno sendiri tanpa harus membawa atribut sebagai seorang pejabat tinggi negara, ia memang dikaruniai kepakaran untuk memenangkan hati seorang perempuan.
Hal ini terlihat dari cerita populer, ketika putra sang fajar berkunjung ke Salatiga pada tahun 1952, waktu itu terdapat perjamuan makan yang disajikan oleh Walikota.
Singkat cerita Bung Karno terkesima dengan masakan lodeh yang dibuat oleh Hartini. Dari kesan pertamanya dengan masakan tersebut, bapak proklamator Indonesia ini langsung terpikat dan jatuh hati kepada perempuan yang memasaknya, yang mana tidak lain adalah Hartini.
Hartini adalah anak dari pasangan Osan Murawi dan Mairah. Ia menikah saat masih belia kemudian bercerai dengan dikaruniai lima orang anak pada usianya yang ke 28 tahun.
Seketika Bung Karno tidak melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya tersebut. Lewat secarik kertas ia tulis apa yang sedang ia rasakan kala itu.
“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini takdir”
Dapat dilihat dari kalimat yang ia gunakan, sekalipun hanya terkesan dengan sayur lodeh buatan Hartini, Bung Karno tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan seluruh perasaannya, jika ia memang benar-benar mencintai sosok perempuan tersebut.
Setahun kemudian, mereka bertemu di peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Lewat temannya Bung Karno mengirimkan pesan dengan menggunakan nama samaran Srihana.
Pada tanggal 15 Januari 1953, Bung Karno meminta izin kepada Fatmawati untuk menikahi Hartini tetapi ditolak.
Sampai akhirnya Hartini meminta kepada Fatmawati untuk tetap menjadi ibu negara sedangkan dirinya menjadi istri kedua. Akhirnya pernikahan digelar pada 7 Juli 1953 di Cipanas.
Kata-kata cinta yang dibalut dengan penuh keyakinan itu, tidak hanya ia tujukan pada Hartini seorang. Tercatat beberapa wanita yang Bung Karno nikahi juga mendapatkan kiriman secarik kertas yang bertuliskan kata-kata romantis.