Khotbah Di Masjid Cheng Hoo, Rektor UIN KHAS Jember Ajak Lahirkan “Ibrahim-Ibrahim Baru”

Khotbah Di Masjid Cheng Hoo, Rektor UIN KHAS Jember Ajak Lahirkan “Ibrahim-Ibrahim Baru”

Frensia.id- Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS), Prof Hepni Zein, hadir memberikan khotbah Idul Adha di Masjid Muhammad Cheng Hoo Kaliwates Jember. Materi pidatonya tampak menyadarkan seluruh Ummat Muslim akan keistimewaan perjuangan Nabi Ibrahim.

Idul Adha adalah momentum untuk menyadari keistimewaan kisah Ibrahim. Bagi Prof Hepni, Islam adalah warisan tradisi dari Nabi yang dijuluki sebagai Khalilullah itu. Sudah sepentasnya, sebagai umat Muslim meneladani kisah dan nasehat.

Di awal khotbahnya, ia mengajak para jema’ah sholat Idul Adha untuk terlebih mempertanyakan orientasi hidup bersama. Nalar pertanyaan mendasarnya ada dalam ayat, “Fa Ayna Tadzhabun?”, maka kemana kau akan pergi? Surat At Takwir ayat 26.

Bacaan Lainnya

Sebagai manusia pada umumnya, yang hidup di era modern ini, selalu akan menjawab bahwa orientasi hidup adalah untuk jabatan, kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Jawaban ini tentu berbeda dengan tujuan hidup Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Menurut Prof Hepni, Nabi Ibrahim telah memberikan tauladan bahwa seluruh perjalanan hidup harus berorientasi pada kehendak dan ridho Tuhan. Demikian juga keluarganya.  

“Saat Ibrahim diperintahkan untuk hijrah ke Mekkah, ia pergi dengan sedikit bekal dan meninggalkan istri dan bayinya di tempat yang tandus. Ketika istri Ibrahim bertanya mengapa mereka harus pergi ke tempat seperti itu, Ibrahim diam tapi akhirnya mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah. Siti Hajar menghibur dirinya bahwa jika itu adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan mempersulit mereka”, katanya saat khotbah.

Memahami kisah tersebut, Prof Hepni menganggap percakapan keduanya sangat mengiris hati dan dimaknainya sebagai cerminan kedalaman iman dan sikap tawakal yang tinggi. Ibrahim dan Siti Hajar dianggapnya telah berani meninggalkan segala kemapanan dan pengorbanan, hanya semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa hanya Allah yang dapat menghidupkan, melindungi, dan memberi rizki.

Tidak hanya itu saja, di kemudian hari, Allah kembali menguji keimanan Nabi Ibarahim. Ia Diperintahkan untuk menyembelih sang anak, Nabi Isma’il.

Tentu, ia dan anaknya mereka sangat. Terguncang. Uniknya, dalam kondisi ini pun, keduanya tetap tulus melaksanakan perintahNYA.

“kita bisa mengambil banyak pelajaran, bahwa kerja keras, kesabaran, keyakinan, dan tawakkal yang total kepada Allah akan mendatangkan pertolongan yang tak terduga. Jadi, serahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa keraguan, karena keyakinan yang kuat adalah kunci untuk mewujudkan kenyataan”, ujar Prof Hepni setelah menceritakan kesabaran demi kesabaran perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Sosok seperti Nabi Ibrahim, menurutnya, saat ini sangat dibutuhkan. Di era digital ini, di mana teknologi sering kali mengaburkan nilai-nilai moral dan etika, teladan Nabi Ibrahim mengingatkan pentingnya prinsip-prinsip keimanan, kejujuran, dan keberanian moral.

Kehidupan Nabi Ibrahim telah mengajarkan bahwa di tengah tantangan dan godaan dunia modern, mestinya harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur dan tidak tergoyahkan oleh arus negatif. Dalam konteks sosial, kisah hidupnya dapat dijadikan contoh dalam hal mengatasi perpecahan dan ketidakadilan dengan keberanian dan integritas.

“Ibrahim bukan hanya seorang nabi dalam arti religius, tetapi juga seorang pemimpin moral dan spiritual yang berani mempertanyakan status quo. Ia dikenal karena keberaniannya menentang penyembahan berhala, berdiri teguh di hadapan raja zalim, dan menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ketulusan meskipun sering kali berat di sisi manusia. Keberanian dan keteguhan hati seperti inilah yang kita butuhkan di zaman ini”, tambahnya.

Sosok Ibrahim telah memberikan contoh pengorbanan yang tulus. Dalam kisah pengorbanan putranya, merupakan bentuk kepatuhan paling tinggi. Pengorbanan seperti ini tidak hanya tentang menghilangkan nyawa. Lebih dari itu, melainkan tentang berhubungan dengan kesiapan dalam memberikan yang terbaik bagi sesama.

Dalam pandangan Prof Hepni, di zaman modern saat ini, pengorbanan dapat diartikan sebagai pemberian waktu, tenaga, dan sumber daya untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Di akhir-akhir khotbahnya, ia mengajak seluruh pihak untuk berupaya melahirkan Ibrahim-Ibrahim baru yang berani, dalam seluruh sektor kehidupan.

“Ibrahim-Ibrahim baru bisa muncul dari berbagai kalangan: pemimpin politik yang jujur, aktivis sosial yang berani, pendidik yang berdedikasi, hingga individu-individu yang dalam kesehariannya memilih untuk hidup dengan integritas dan kasih sayang. Kita semua memiliki potensi untuk menjadi seperti Nabi Ibrahim dalam skala kita masing-masing, dengan cara berani bertindak benar meskipun berat dan tidak populer”, ucapnya.