Frensia.id – Tidak berlebihan jika kita mengatakan kampus adalah tempat kaum intelektual dan mencerdaskan. Atas penyematan par excellence tersebut –mahasiswa– yang sedang kuliah di perguruan tinggi harus terus mengasah.
Najwa Shihab pernah mengingatkan tentang hal tersebut, menurutnya ingatlah kehidupan kampus dengan teru mengasah. Jangan habiskan waktumu untuk berkeluh kesah.
Kuliah di perguruan tinggi — di kampus Indonesia– manapun sebagai mahasiswa setidaknya ada dua kewajiban yakni membaca dan menulis.
Sayangnya kita masih disuguhkan dengan temuan bahwa minat baca Indonesia masih sangat rendah UNESCO dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mendapati, indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen, artinya dari 1000 orang hanya ada 1 orang gemar membaca. Miris bukan.
Prof. M. Nursalim, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menyebut, angka tersebut bersifat general, tetapi minat baca yang rendah juga terjadi dikalangan mahasiswa.
Sungguh aneh namun ini nyata. Jika dunia kampus yang dikenal sebagai sarang kaum intelektual namun mahasiswanya tidak membaca, bagaimana intelektualitas tercipta? bukankah utopia.
Intelektualitas tercipta jika ada dialektika, ada aksi dan reaksi. Dialektika akan tercipta jika mahasiswa cukup membaca, bagaimana mahasiswa peka, kritis dan reaksi terhadap kebijakan kampus, kebijakan negara jika ia tidak membaca. Ia akan hanya ikut arus. Ya rugi dong.
Salah satu wujud reaksi atas kebijakan kampus misalnya ya salah satu reaksi yang memberikan efek adalah tulisan. Tulisan yang tajam, kritis, analitis tentu adalah reaksi yang paling ditakutkan. Itu hanya tercipta dengan banyak membaca.
Lalu apakah menulis hanya untuk itu? tentu tidak. Menulis yang tajam, analitik, kritis butuh proses panjang. Artinya sebagai mahasiswa tidak harus menunggu tulisan bagus untuk menulis namun menulislah untuk menggapai tulisan bagus.
Dimulai dari hal kecil, membaca dari membaca itu akan tersusun gugusan ide, gugusan ide itulah ditulis. Hari ini bisa diunggah di platform fb, ig, atau media kampus dan sebagainnya. Jika membaca namun gugusan ide itu tidak ditulis, ya rugi dong. Tulislah semampunya.
Disinilah Kampus sebagai sarana intelektual perlu mengkampanyekan membaca dan menulis. Tulisan “dilarang bonceng tiga” atau “dilarang pacaran” atau “harus berpakain rapi” di plang kampus mestinya diganti “sudahkah anda membaca” atua “sudahkah anda kritis” “sudahkah anda menulis”. Jika itu dijumpai di kampus maka mahasiswa akan merasa ditantang kritis. Keren bukan.