Maulid Nabi dan Ironi Demokrasi Kita

Selasa, 26 Agustus 2025 - 22:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id- Setiap tahun, umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di masjid, mushola dan langgar kita dengar shalawat bergema, di podium-podium para penceramah berbicara tentang akhlak mulia Rasulullah. Namun, ada satu dimensi yang barangkali belum serius diteladani: Nabi bukan hanya teladan pribadi, tetapi juga kepala negara. Ia memimpin Madinah bukan sekadar dengan simbol keagamaan, tetapi dengan tata kelola politik yang adil, terbuka, dan berpihak kepada rakyat kecil.

Kontras dengan itu, wajah demokrasi dan kepemimpinan politik Indonesia hari ini jauh dari teladan Nabi. Anggota DPR diberitakan menerima gaji dan tunjangan hingga seratus juta rupiah per bulan, bebas pajak, bahkan pensiunan seumur hidup. Sementara itu, kualitas undang-undang kerap dipertanyakan. Banyak regulasi lahir bukan untuk rakyat, melainkan mengamankan kepentingan elite politik dan kelompok tertentu.

Kondisi ini menghadirkan ironi. Wakil rakyat justru kerap absen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Eksekutif pun tak kalah mengecewakan. Kebijakan yang lahir dari pemerintah sering kali tak berpihak pada masyarakat luas, entah itu terkait harga kebutuhan pokok, tata kelola sumber daya alam, pajak yang kian meroket maupun perlindungan sosial.

Padahal, jika melihat Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin negara, kita akan menemukan teladan yang nyaris bertolak belakang. Nabi tidak menempatkan dirinya di menara gading, melainkan hadir langsung di tengah umat. Ia memimpin dengan kesederhanaan, menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan privilege.

Rumah Nabi tetap sederhana, pakaiannya tidak mewah, dan hidupnya jauh dari fasilitas istimewa. Sebagai kepala negara, ia bahkan menolak kekayaan negara digunakan untuk kepentingan keluarganya.

Baca Juga :  Diadakan di Baitul Amin, Peringatan Harlah Rijalul Ansor Jember Kuatkan Gerakan Berbasis Masjid

Penelitian Mirzal dan Ninglasari, Situational Leadership In Islam: An Analysis of the Leadership Model of The Prophet Muhammad (2021), menunjukkan Nabi Muhammad SAW menerapkan kepemimpinan situasional dengan menyesuaikan gaya kepemimpinannya pada kondisi sosial dan kemampuan umat, baik di Makkah maupun Madinah. Prinsip tadarruj (gradualitas) digunakan agar kebijakan dan ajaran diterima bertahap sesuai kesiapan masyarakat.

Hal ini membuktikan Nabi menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Kepemimpinan situasional ini kontras dengan praktik politik Indonesia yang kerap abai pada realitas rakyat

Prinsip amanah ini menjadi fondasi utama. Nabi mengingatkan, pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya. Konsep itu jika ditarik ke konteks DPR dan pemerintah hari ini mestinya berarti: jabatan bukan tiket untuk kesejahteraan pribadi, melainkan sarana menyejahterakan rakyat.

Lebih jauh, Nabi menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Ada kisah terkenal ketika seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum mencuri. Beberapa sahabat ingin agar hukum tidak ditegakkan karena status sosialnya. Nabi menolak tegas. “Seandainya Fatimah, putriku, mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya,” tegas beliau. Pesan ini jelas: hukum tidak boleh melayani kelas tertentu.

Bandingkan dengan situasi kita. Regulasi sering kali memberi karpet merah bagi kelompok berduit, sementara rakyat kecil diabaikan. Buruh, petani, nelayan, dan masyarakat miskin kerap hanya menjadi objek, bukan subjek dalam proses politik. Padahal, Nabi justru menjadikan kaum mustadh‘afin sebagai poros perjuangan politiknya.

Baca Juga :  Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama

Teladan berikutnya adalah musyawarah. Meski berstatus Rasul, Nabi tidak memonopoli kebenaran dalam urusan kenegaraan. Dalam Perang Uhud, misalnya, beliau menerima pendapat mayoritas sahabat yang berbeda dengan pendapat pribadinya. Inilah yang seharusnya mengilhami lembaga legislatif kita. DPR semestinya menjadi arena syura yang jujur, tempat suara rakyat diartikulasikan. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya: rapat-rapat dipenuhi kepentingan politik praktis, bukan keberpihakan pada rakyat kecil.

Momentum Maulid ini mestinya mengingatkan kita: kepemimpinan bukan hanya soal popularitas, gaji, atau fasilitas, tetapi soal amanah. Pejabat negara, baik eksekutif maupun legislatif, seharusnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai cermin. Jika Nabi menolak menjadikan jabatan sebagai ladang privilese, kenapa pejabat kita justru memelihara privilese itu? Jika Nabi mengutamakan keadilan bagi rakyat kecil, mengapa undang-undang yang lahir sering menguntungkan para pemilik modal?

Tentu, kita tidak sedang menuntut kesempurnaan. Namun, minimal ada upaya serius untuk meneladani prinsip dasar Nabi: amanah, keadilan, musyawarah, kesederhanaan, dan akuntabilitas. Tanpa itu, Maulid Nabi hanya berhenti pada seremonial belaka—shalawat berkumandang, konsumsi habis, lalu pejabat kembali ke kursi empuknya, tanpa pernah bercermin pada kepemimpinan sang teladan agung.

Jika ada yang harus diwarisi dari Nabi Muhammad dalam momentum Maulid, itu bukan sekadar lantunan shalawat, tetapi kesadaran bahwa jabatan adalah tanggung jawab besar, bukan hak istimewa. Dan bangsa ini akan tetap terjebak dalam krisis kepemimpinan selama para pejabatnya lebih sibuk meneladani gaya hidup oligarki ketimbang meneladani kesederhanaan Nabi.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Menyambut Rabiul Awal: Bulan Cinta dan Kebajikan
Diadakan di Baitul Amin, Peringatan Harlah Rijalul Ansor Jember Kuatkan Gerakan Berbasis Masjid
Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama
Ragam Tradisi Muharram di Berbagai Negara
Tahun Baru Hijriah dan Segelas Susu Putih: Warisan Spiritual Abuya Sayyid Muhammad
Antara Sanggan dan Doa: Wajah Sosial dari Tradisi Ziarah Haji
Pondok Pesantren Fathur Rahman Gelar Wisuda Kitab Kuning dan Resmikan Cabang MAKTUBA di Jember
Sinergi! Kemenag dan LD PBNU Kuatkan Kesadaran Ekoteologi Melalui Masjid
Tag :

Baca Lainnya

Selasa, 26 Agustus 2025 - 22:55 WIB

Maulid Nabi dan Ironi Demokrasi Kita

Senin, 25 Agustus 2025 - 15:28 WIB

Menyambut Rabiul Awal: Bulan Cinta dan Kebajikan

Selasa, 19 Agustus 2025 - 21:36 WIB

Diadakan di Baitul Amin, Peringatan Harlah Rijalul Ansor Jember Kuatkan Gerakan Berbasis Masjid

Rabu, 6 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama

Kamis, 26 Juni 2025 - 19:47 WIB

Ragam Tradisi Muharram di Berbagai Negara

TERBARU

Religia

Maulid Nabi dan Ironi Demokrasi Kita

Selasa, 26 Agu 2025 - 22:55 WIB