Meluruskan Narasi Jokowi soal Pemakzulan Satu Paket

Senin, 16 Juni 2025 - 11:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Isu pemakzulan presiden atau wakil presiden selalu menyulut perhatian publik. Ia bukan semata soal hukum tata negara, tapi juga menyentuh rasa keadilan, etika kekuasaan, dan arah demokrasi kita. Baru-baru ini, pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang terus mencuat ke ruang publik, dan memancing tanggapan langsung dari Presiden ke-7, Joko Widodo.

Dalam keterangannya kepada media, Jokowi menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan secara “satu paket”, berbeda dengan sistem di Filipina. Pernyataan ini sekilas tampak sederhana, namun menyimpan kerancuan serius dalam memahami konstitusi.

Mari buka kitab suci kenegaraan kita: Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Di sana secara eksplisit disebutkan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat.” Frasa “dan/atau” bukanlah diksi sambil lalu. Ia merupakan hasil perdebatan panjang para ahli konstitusi dan menyimpan muatan yuridis yang khas.

Seandainya konstitusi hanya menyebut “dan”, barulah makna “satu paket” itu menguat. Namun dengan menambahkan “atau”, maknanya menjadi: presiden saja bisa dimakzulkan, wakil presiden saja bisa, atau keduanya sekaligus.

Baca Juga :  Kepala Dinsos P3AKB Bondowoso Tegaskan Perkawinan Anak Akar Kemiskinan Struktural

Artinya, jika Gibran selaku wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berat, korupsi, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai wapres, maka ia dapat diberhentikan tanpa harus menyeret Presiden Prabowo dalam pusaran pemakzulan itu. Di sinilah letak koreksi narasi Jokowi: ia membawa pemahaman politik tentang pencalonan ke dalam ranah hukum konstitusional yang memiliki rezim berpikir berbeda.

Pemakzulan adalah urusan tanggung jawab individual, bukan kolektif. Jabatan presiden dan wakil presiden memang dipilih dalam satu tiket, tetapi pertanggungjawaban keduanya bersifat terpisah. Sama seperti suami-istri: menikah bersama, tapi tidak lantas berarti jika suami melakukan korupsi, sang istri ikut dijebloskan ke penjara. Begitu pula dalam sistem ketatanegaraan kita—jika wakil presiden melanggar hukum, maka dialah yang bertanggung jawab, bukan pasangannya dalam pencalonan.

Lagipula, logika pemakzulan bukan logika pemilu. Pemilu memang satu tiket. Tapi pemakzulan adalah proses hukum dan politik yang didasarkan pada pertanggungjawaban pribadi terhadap konstitusi dan rakyat. Jokowi benar jika ingin membela Gibran sebagai seorang ayah. Tapi keliru jika membela Gibran dengan memakai tafsir yang menyimpang dari konstitusi.

Apa yang disampaikan Jokowi tampaknya lebih bernuansa politis ketimbang yuridis. Namun narasi seperti ini berbahaya jika dibiarkan. Ia berpotensi menjadi tafsir resmi bagi pendukung buta, padahal cacat secara hukum. Dalam negara hukum, tafsir konstitusi tidak bisa dimonopoli oleh kekuasaan. Tafsir itu adalah milik akal sehat, nalar hukum, dan institusi yang diberi wewenang oleh konstitusi: Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga :  Sukses! Duta Griya Moderasi Beragama KUA Kaliwates Terbentuk, Rektor UIN KHAS Pimpin Baca Ikrar Trilogi

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Ungkapan mendiang Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini layak menjadi renungan bersama. Dalam konteks hari ini, yang lebih penting dari kekuasaan adalah kejujuran intelektual dalam menafsirkan hukum. Membela keluarga adalah hal yang manusiawi, tetapi konstitusi tidak boleh dikorbankan demi ikatan darah. Publik sudah terlalu lelah menyaksikan hukum dipelintir demi melayani kepentingan politik. Jangan sampai narasi “satu paket” ini justru turut memperlebar luka kepercayaan rakyat terhadap hukum.

Pemakzulan Gibran belum tentu layak dilakukan. Namun begitu, membahasnya tidak bisa dilarang. Dan kalaupun harus dilakukan, ia memiliki dasar hukum yang kuat. Demokrasi tidak membutuhkan pemimpin yang takut terhadap hukum. Demokrasi membutuhkan pemimpin yang tunduk pada hukum—bahkan ketika hukum menyentuh keluarganya sendiri. Di situlah martabat seorang negarawan diuji.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh: Pesan Rektor UIN KHAS Jember Pada Closing PBAK 2025
Galakkan Gerakan “Wakaf Oksigen” Saat PBAK, UIN KHAS Jember Lawan Krisis Iklim
Ajak Masyarakat Peduli Lingkungan, Ribuan Mahasiswa Baru UIN KHAS Jember Bagikan Bibit Pohon Buah Kepada Pengguna Jalan
Rabo Wekasan: Antara Tradisi, Doa, dan Catatan Ilmiah
Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia
Ribuan Maba UIN KHAS Jember Ikuti PBAK 2025, Usung Tema Ekoteologi
WASPADA! Peneliti Ungkap “Satu Benda” Paling Berbahaya Pemicu Kecelakaan Ojek Online di Jember
Raih Penghargaan! KUA Kaliwates Terbaik Soal Engagement Media

Baca Lainnya

Jumat, 22 Agustus 2025 - 17:00 WIB

Galakkan Gerakan “Wakaf Oksigen” Saat PBAK, UIN KHAS Jember Lawan Krisis Iklim

Jumat, 22 Agustus 2025 - 16:29 WIB

Ajak Masyarakat Peduli Lingkungan, Ribuan Mahasiswa Baru UIN KHAS Jember Bagikan Bibit Pohon Buah Kepada Pengguna Jalan

Rabu, 20 Agustus 2025 - 06:14 WIB

Rabo Wekasan: Antara Tradisi, Doa, dan Catatan Ilmiah

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:16 WIB

Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia

Selasa, 19 Agustus 2025 - 10:24 WIB

Ribuan Maba UIN KHAS Jember Ikuti PBAK 2025, Usung Tema Ekoteologi

TERBARU

Religia

Menyambut Rabiul Awal: Bulan Cinta dan Kebajikan

Senin, 25 Agu 2025 - 15:28 WIB