Pemberantasan Korupsi, Hanya Omon-Omon

Kamis, 26 Desember 2024 - 10:39 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Baru-baru ini publik dibikin geger dan keheranan oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto, ia akan memberi pengampunan kepada koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsinya. membuat orang bertanya-tanya, dimana tekad yang pernah dijanjikannya?

Prabowo, dalam kampanye politik, menggebu-menggebu memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, demi menghapus kemiskinan di tanah ini. Namun, hari ini janji itu terkesan hanya omon-omon, alih-alih mengejar ke antartika, malah memberi pintu maaf.

Di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo, Prabowo dengan santainya berkata, “Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kami maafkan.” Lebih mengejutkan, ia menyebutkan kemungkinan pengembalian dana korupsi “diam-diam supaya tidak ketahuan.”

Bukankah ini berpotensi menjadi celah baru bagi para koruptor untuk menyiasati hukum? Pernyataan ini, terlepas dari maksud baiknya, hanya menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di era pemerintahannya beralih dari penghukuman tegas menjadi kompromi yang lunak.

Prabowo bukan orang pertama yang berbicara tentang pendekatan baru dalam menangani korupsi. Beberapa pihak, termasuk Menteri Yusril Ihza Mahendra, mendukung kebijakan ini dengan alasan “mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.” Yusril bahkan menekankan bahwa memenjarakan koruptor tanpa mengembalikan asetnya tidak banyak manfaat bagi pembangunan ekonomi.

Baca Juga :  Kepemimpinan, Dinamika Dan Pengaruhnya Terhadap Stagnasi Organisasi

Pernyataan ini mencerminkan cara berpikir yang pragmatis, tetapi juga berbahaya. Apakah kebijakan ini mencerminkan upaya serius untuk melawan korupsi, atau justru langkah mundur yang merusak semangat hukum?

Janji politik Prabowo sebelumnya tampak jauh lebih idealis. Dalam pidatonya saat pelantikan sebagai presiden, ia menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan penegakan hukum yang tegas, perbaikan sistem, dan digitalisasi.

Namun, gagasan pengampunan koruptor ini justru bertentangan dengan pidato tersebut. Bagaimana mungkin seseorang yang sebelumnya berjanji memerangi korupsi dengan “tegas” kini menawarkan kompromi kepada mereka yang telah merampas uang rakyat?

Tidak dapat disangkal bahwa mengembalikan uang hasil korupsi adalah hal yang penting. Namun, pengampunan tanpa akuntabilitas hukum hanya memperkuat kesan bahwa korupsi dapat dinegosiasikan.

Padahal, esensi dari pemberantasan korupsi adalah memberikan efek jera, bukan sekadar memulihkan kerugian ekonomi. Dengan memberi amnesti, pemerintah justru mengirimkan pesan bahwa menjadi koruptor tidaklah sepenuhnya buruk, selama ada jalan untuk “bertobat.”

Pertimbangan ini sejalan dengan beberapa penelitian, misalnya temuan dalam disertasi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Pasca Orde Baru, yang menekankan bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan akuntabilitas hukum yang jelas, bukan sekadar kompromi pragmatis. Disertasi besutan Imran di Universitas Islam Indonesia (UII) (2023) ini menyoroti bahwa efek jera merupakan komponen penting dalam upaya pemberantasan korupsi. 

Baca Juga :  Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Selain itu, politik hukum yang konsisten dan berorientasi pada reformasi sistem diperlukan untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah terjadinya korupsi di masa depan. Wacana pengampunan koruptor tanpa proses hukum justru melemahkan prinsip ini dan mengindikasikan langkah mundur dalam reformasi hukum.

Pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya menjadi alat politik atau retorika kampanye. Ia harus menjadi komitmen nyata yang diimplementasikan melalui kebijakan dan tindakan yang jelas.

Langkah-langkah seperti penguatan KPK, perbaikan sistem birokrasi, dan penerapan teknologi digital untuk transparansi adalah jalan yang benar-benar bisa membawa perubahan. Namun, retorika pengampunan ini seolah menunjukkan bahwa tekad tersebut mulai goyah.

Jika Prabowo benar-benar ingin membuktikan bahwa pemerintahannya serius memberantas korupsi, maka tindakan nyata yang tegas harus segera dilakukan. Pengampunan tidak boleh menjadi pengganti akuntabilitas.

Sebaliknya, akuntabilitaslah yang akan memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tanpa itu, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi omon-omon belaka.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum
Kepemimpinan, Dinamika Dan Pengaruhnya Terhadap Stagnasi Organisasi
Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi
Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan
Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Baca Lainnya

Selasa, 20 Mei 2025 - 19:49 WIB

Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum

Senin, 19 Mei 2025 - 16:45 WIB

Kepemimpinan, Dinamika Dan Pengaruhnya Terhadap Stagnasi Organisasi

Jumat, 16 Mei 2025 - 03:57 WIB

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Kamis, 24 April 2025 - 21:45 WIB

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

TERBARU

Religia

Menyelami Makna Dialog  Nabi Ibrahim dan Ismail

Jumat, 6 Jun 2025 - 18:20 WIB