Frensia.id- Demokrasi tidak sekedar berupaya bagaimana memilih seseorang yang kompeten untuk menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan, yang menghasilkan keadilan. Tetapi juga bagaimana mencegah orang yang tidak kompeten untuk mempunyai jabatan sehingga tidak ada kebijakan yang salah takaran.
Menjadi persoalan ketika terdapat calon pemimpin yang telah melengkapi administrasi dan dinyatakan bisa mengikuti kontestasi untuk dipilih rakyat sedangkan tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang dianggap mampu merawat kemaslahatan orang banyak. Melihat persoalan ini, maka jalan keluarnya kembali kepada teori awal, memilih yang paling kompeten.
Apabila ternyata sama-sama rusak, maka tetap yang paling kompeten adalah yang memiliki potensi merusaknya paling minimalis. Pada konteks ini, sepertinya cukup meresahkan jika ternyata yang disodorkan bukan dari kalangan yang terbaik diantara yang terbaik, melainkan yang tidak buruk-buruk amat diantara yang terburuk. Tetapi begitulah yang terjadi.
Hari ini, kita sudah melewati adegan tersebut antara kondisi memilih yang terbaik dan memilih tidak buruk-buruk amat. Pasca tahun 2024 menjadi peluang antara dua opsi tersebut apakah rakyat mendapatkan pilihan yang pertama atau yang kedua. Jika para pimpinan entah dari legislatif atau eksekutif yang telah mampu memenangkan hati rakyat dengan mengkoordinir suara untuk memilih dirinya berhasrat untuk mengembalikan modal kapital kampanye maka pemilihan pada era yang akan datang akan mengambil suasana opsi yang kedua, pemimpin yang tidak buruk-buruk amat.
Jika bertekad baik, untuk menentang hasrat sebagai pedagang dalam arena politik, maka opsi pertama bisa diambil dan seluruh keringat, rupiah dan apapun itu menjadi tumbal daripada demokrasi yang lebih baik. Tetapi apakah mungkin ada yang demikian? Entahlah.
Sedikit kembali flashback pada tahun 2019, menurut survei pendapat umum Kompas September 2019, lebih dari 66 persen responden merasa tak terwakili para anggota DPR. Citra lembaga ini buruk menurut 62 persen pendapat.
Maka 2024 adalah bukti perwajahan dari para partisipan yang mana boleh dikatakan gelombang kekecewaan lebih dominan daripada kepuasan itu sendiri. Sekalipun berapa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dan pilkada 2024 tetap saja banyak faktor yang mampu meningkatkan angkanya, tidak bisa ditutup-tutupi bukan seutuhnya berasal dari niat untuk mendelegasikan suara kepada seorang calon yang dianggap baik, ada faktor lain. Setidaknya alasan moral, seseorang yang menggunakan hal pilihnya adalah warga negara yang baik.
Secara kategori kepribadian para politisi yang menjadikan masyarakat meletakkan harap dari output kekuasaan adalah faktor paling kecil saja, sebagaimana angka yang disodorkan Kompas sudah cukup alasan.
Angka 66 persen merasa tak terwakili mengingatkan kepada cemooh dari masyarakat yang sering dibahas di warung-warung kopi jalanan, salah satunya adalah sebagai sebagai berikut.
“sebuah bus terguling ke dalam jurang di dekat sebuah dusun pedalaman. Semua penumpangnya tewas. Penduduk datang menolong. Beberapa jam kemudian mereka berhasil mengangkat jenazah satu demi satu untuk dibaringkan di balai desa. Mereka kenali wajah mayat-mayat itu: tiga anggota parlemen, dua tokoh partai.
Esoknya polisi mengusut,”waktu bapak-bapak menemukan korban, apakah semuanya sudah mati?”
Jawab seorang penduduk: yah, mereka mengaku belum mati, pak. Tapi mereka kan politikus”.
Demikian lelucon tentang politikus yang terasa sangat pedas. Ini hanya salah satu saja, masih banyak lainnya dan sama-sama pedasnya sebagai bentuk ketidakpercayaan dari masyarakat tidak hanya ketika mereka hidup bahkan kematian yang tragis tidak cukup memberikan pembenaran bahwa para politikus memang benar-benar mati.
Apakah hal tersebut merupakan representasi terdalam dari suara rakyat kepada orang-orang yang mereka delegasikan sebagai pemimpin lewat bilik-bilik suara saat Pemilu? Bisa benar juga tetapi apabila ada kesalahan adalah perspektif terbatas dan minimalis.
Usai sudah yang namanya pemilihan-pemilihan itu, perawatan terbaik terhadap demokrasi dengan segala hiruk-pikuknya harus dimulai dari perawatan kepercayaan publik kepada mereka yang menyodorkan diri dan mengaku mampu dengan berbagai janjinya untuk menangani kepntingan orang-orang banyak.
Hari-hari setelah pelantikan penyandang jabatan adalah momen-momen pembuktian kepada sejarah apakah perasaan terwakili dan segala kemaslahatan bisa tertangani atau tidak menjadi alasan seberapa tingkat partisipasi nantinya pada era pemilu selanjutnya.
Sekalipun nantinya orang-orang baik harus berjuang dan beruang untuk mendapatkan posisi, yang mana apabila tidak menggunakan uang maka kalah dan apabila kekalahan itu menyebabkan kursi-kursi kekuasaan akan diduduki oleh mereka yang inkompeten, setidaknya hari-hari ini masyarakat perlu diyakinkan bahwa ada orang baik yang duduk di kekuasaan, mendapatkan mobil dinas dan rumah dinas.
Adanya orang-orang baik yang memegang kekuasaan juga menjadi alasan masyarakat menjadi taat pajak, karena mereka akan secara ikhlas dan sukarela uang hasil jerih payahnya yang dihasilkan dari memeras keringat bisa bermanfaat bagi orang-orang yang sebelumnya menawarkan diri untuk dipilih.
Dari sinilah sebenarnya demokrasi dirawat, yaitu dari merawat kepercayaan publik, jika seorang politisi benar-benar mati bagaimana orang bisa percaya, tidak seperti lelucon tersebut. Begitu pula ketika seorang politisi bicara “A” maka bagaimana huruf vocal tersebut tidak bergeser menjadi “E” dan lain sebagainya sekalipun hujan, angin, gelombang dan badai menerpa.