Frensia.id- Seperti judul. Perguruan Tinggi diisi oleh para guru-guru yang tinggi. Tinggi dari segi nalar, banyak kali yang dipikirkan dalam dimensi langit (Jawa: Mengawang-awang) nyaris tidak menyentuh permukaan tanah. Bagi warga bumi yang benar-benar menyentuh tanah dengan kaki telanjang sulit sekali menerka dan mengunyah habis apa yang dibicarakan oleh para guru tinggi. Bahasa yang digunakan umpama jalan sudah menanjak menikung lanjut menurun dan menikung lagi. Secara kata masih bisa dikejar (mungkin), tetapi hanya saja secara orientasi dari bahasa itu sendiri sebagai sebuah sistem tanda, untuk memahaminya layaknya sedang mengejar angin, menepuk badai.
Selain bahasa yang tinggi, konon katanya para guru-guru tinggi juga meletakkan harapan yang tinggi pula. Tidak sulit untuk menjelaskan harapan tinggi itu dan tidak salah (barangkali), supaya lebih jelas bisa intip budaya birokrasi. ya seperti itulah yang diharapkan. tetapi dalam kesempatan ini tidak ada hendak menyoal tentang harapan yang tinggi itu.
Dulu sampai hari ini, Cak Nur alias Profesor Nurcholis Majid adalah sosok dari intelektual yang melahirkan pikiran-pikiran besar tentang keislaman di Indonesia. Dengan cara pikirnya yang canggih ia mampu menyimpulkan sesuatu yang kira-kira tidak dipikirkan orang lain. Ia memiliki ketajaman yang luar biasa, mampu menerobos perkara yang dianggap sudah buntu. Tanpa harus menyebut karya tulisnya, sosoknya pokoknya istimewa.
Dari tersohornya sosok Cak Nur sebagai salah satu icon intelektual, KH Zaenudin MZ yang mendapatkan predikat Dai Sejuta Umat. Julukan tersebut bukan sembarang gelar atau sebutan. Identitas tersebut cukup merepresentasikan berapa follower yang menempatkan sosoknya dan ceramah-ceramahnya di hati dan pikiran umat.
Sebagai sosok Dai yang memiliki umat sejuta, barangkali bisa lebih, KH Zaenudin MZ lebih populer karena pembawaan bahasa yang disampaikan lebih menyesuaikan dengan kondisi umat pada umumnya. Secara logika terbalik, apabila atau seumpama mayoritas masyarakat adalah orang-orang tercerahkan yang mampu memahami konsep ruwet dengan total penguasaan bahasa cukup banyak, maka Cak Nur juga bisa mendapatkan predikat sebagai Narasumber sejuta peserta seminar, semisal.
Karena keduanya mempunyai situasi yang berbeda maka untuk mengidentifikasinya tidak bisa pakai jalan lurus-lurus aja. Harus terperinci. Burung tidak bisa dibilang lebih hebat dari ikan karena bisa terbang. Ikan pun juga begitu tidak bisa lebih hebat dari burung karena bisa berenang dan tidak pernah mati dikarenakan tenggelam.
Menjadi pertanyaan, selain faham banyak konsep ruwet, bergelar, banyak baca buku, punya lingkaran akademis, apakah seorang intelektual adalah mereka yang berbicara secara sulit untuk difahami sampai nyaris tidak terfahami ataukah mereka yang mampu menjelaskan dengan mudah untuk dicerna oleh berbagai kalangan?
Kedua-duanya bisa dianggap ‘iya’. Pastinya bukan mereka yang sengaja menggunakan kata ilmiah untuk memperkeren diri. Seperti mahasiswa baru masuk kuliah atau mahasiswa dengan model artisan yang ingin tampil di depan publik, maka ia dituntut untuk bicara serapi mungkin. Sedangkan subtansi pembicaraan berasal dari upayanya semalam menyusun kalimat.
Bukan pula dari orang yang tampak intelek, dengan serta merta menyalahkan seseorang yang tidak mampu memahami perkataanya dengan baik. Dalam konteks ini kesalahan jelas sekali ada pada si intelek itu, jika memang ia benar-benar menguasai sebuah konsep yang sedang dibicarakan setidaknya ia bisa mengambil sudut pandang lain atau menggunakan rangkain kosa kata lain yang kiranya lebih mudah difahami.
Berbicara mengenai intelektualitas dengan bahasa yang ramah dan gayeng sangat perlu sekali para intelek itu mempunyai kepakaran dalam hal berbicara dan menerjemahkan sebuah pemahaman diluar kotak yang mengukungnya. Jostein Garder, penulis novel filsafat dunia sophie pernah memberi penjelasn mengenai atomisme menurut Demokritus. Ia memberikan gambaran sebuah atom itu layaknya lego. Padahal jika secara kaku difahami, atom berasal dari kata a= tidak dan tom= terbagi. Subtansi dari sesuatu benda adalah yang tidak terbagai, jelas sukar sekali pemahaman ini.
Lebih lanjut, Garder memberikan ilustrasi tentang cara Kant untuk menjelaskan hukum kausalitas yang mana ditolak oleh David Hume akan keberadaannya. Jika bola dilemparkan secara spontan kucing akan langsung mengejarnya. Berbeda dengan manusia, sebelum mengejar akan meninjau terlebih dahulu dari mana bola itu berasal. Hal tersebut sebagai penjelasan dari pendangan Kant bahwa kausalitas itu berada pada sistem pemikiran manusia dan tidak pernah dianugerahkan kepada kucing dan binatang.
Semakin seseorang itu intelek, maka seyogyanya kemampuan yang ada pada dirinya untuk membangunkan dunia fiksi pendengarnya semakin nyata. Karena hanya dengan itu pikiran bisa diterima dengan relatif mudah. Secara ilustratif barangkali bisa dikatakan, setelah seseorang intelek menyelesaikan skripsi, tesis, disertasi dan berbagai jurnal ilmiah yang cenderung mempunyai tatanan bahasa yang rigid dan menegangkan syaraf. Bagaimana kemudian setelah itu ia mampu menceritakan yang ilmiah ke dalam cerita panjang, layaknya novel. Jelas ini lebih menarik daripada sebuah karya ilmiah yang mana penulisnya sendiri juga tidak akan membacanya lagi.
Perguruan Tinggi dengan bahasa yang ribet dan muluk-muluk, dimana para mahasiswanya seolah diajak melintas ke lapisan-lapisan langit. Ada yang menetap, ada yang terhempas. Saat seorang mahasiswa putus hubungan dengan budaya universitas, bisa dibilang kemudian terhempas ke bumi atau habitat aslinya, banyak sekali yang merasakan kegamangan, kehilangan arah, absurditas. Apakah ini karena budaya universitas yang cenderung ndakik-ndakik itu, sehingga tercipta kesenjangan seakan-akan ada jarak antara langit dan bumi? entahlah.