Rahwana, Prabowo dan Ksatria Cahaya

Senin, 13 Januari 2025 - 07:25 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Prabowo, Ksatria Cahaya, Rahwana

Prabowo, Ksatria Cahaya, Rahwana

Frensia.id- Dulu sebenarnya, kita bisa mengambil teladan pada sosok wiracarita epos Ramayana, yakni Rahwana atau dengan nama lain dikenal dengan Dasamuka. Sosok antagonis angkaramurka, sebagaimana diceritakan secara turun-temurun.

Yakni keteguhan hatinya yang kuat, untuk senantiasa mencoba tanpa kenal putus asa memenangkan hati Sinta, perempuan yang menjadi istri Sri Rama.

Setiap hari tidak ada habisnya dan menyerahnya, Rahwana terus saja bertanya kepada Sinta, apakah ia telah mencintainya?. Selama sekitar kurun waktu tiga belas tahun sampai kerajaannya akhirnya kalah di serang oleh pasukan kera dibawah komando Sri Rama Wijaya dan Sinta berhasil dibawa pulang.

Sebenarnya kalau mau hendak dibandingkan, keraguan yang tumbuh di hati Rama kepada istrinya karena pernah disekap, sampai-sampai ia mesti menagih kesucian istrinya dengan melakukan pembakaran sebagai bukti merupakan manifestasi dari pudarnya cinta yang seringkali didongengkan sampai hari ini.

Sesuatu yang tidak pernah dilakukan dan terpikirkan oleh Rahwana terhadap seseorang yang benar-benar tulus ia harapkan, bahkan Sinta ditempatkannya di Istana Alengka bak seorang ratu, sekalipun diketahui statusnya adalah wanita culikan.

Artinya dari segi ketulusan antara keduanya, sebenarnya dimenangkan oleh Rahwana, hanya saja ia adalah termasuk pemeran sejarah yang kalah.

Cerita yang ditampilkan dan bisa didengar sampai hari ini, sisi positif dari Rahwana tidak pernah ditampilkan sama sekali. Begitulah regulasi sejarah, bahwa mereka yang kalah secara politis identitasnya akan selalu dikenang dan dicatat oleh sejarawan jika tidak sebagai pecundang maka sebagai penjahat.

Diantara penulis yang mengambil sudut pandang berbeda dalam menceritakan epos legendaris tersebut adalah Alm. KH, Ng. Agus Sunyoto dengan bukunya berjudul ‘Rahuvana Tattwa’ dan Sujiwo Tejo dengan judul ‘Rahvayana aku lala padamu’.

Sebagai anti mainstream, sangat sulit kiranya untuk mengambil teladan pada sosok Rahwana yang tulus dan anti putus asa dalam memperjuangkan tekat dan keinginannya. Karena keburu tergerus oleh pandangan dominan bahwa sosoknya merupakan perwujudan dari kejahatan.

Sikap pantang menyerah sangatlah penting dimiliki lebih-lebih bagi seseorang laki-laki, bagi perempuan juga penting. Akan tetapi apabila seorang laki-laki yang cenderung cengeng, gampang mengeluh dan berlinang air matanya atas apa yang ia perjuangkan tidak kunjung berhasil maka perlu revisi jenis kelamin pada KTP nya.

Baca Juga :  Viral RUU TNI, Ternyata Munir Juga Menolak Militerisme

Mengambil teladan sisi positif dari Rahwana bagi seorang laki-laki agar tidak gampang menyerah layaknya melihat sepak bola dari lubang sedotan, teramat sulit dan tidak jelas. Sebab sejarah sudah melabelinya dengan orang kalah perang atau dalam bahasa lain kalah secara politis.

Untuk itu, para laki-laki khususnya, teladan agar tidak gampang menyerah bisa diperhatikan dengan seksama dan diamalkan dari sosok presiden ke 8 kita yang tercinta, H.Prabowo Subianto. Sudah berapa kali ia kalah dalam kontestasi politik?

Ingatan publik masih sangat jelas, berapa kali sudah Komandan Jenderal Kopassus yang menjabat dari tahun 1995 hingga 1998 ini kalah kontestasi.

Pertama pada thun 2009, sebagai calon wakil presiden Megawati Soekarno Putri, ia dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono. Kedua pada tahun 2014 sebagai calon presiden berpasangan dengan Hatta Rajasa, ia dikalahkan oleh Joko Widodo dan Yusuf Kalla. Ketiga pada tahun 2019, sebagai calon presiden berpasangan dengan Sandiaga Uno, dikalahkan lagi dengan pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin.

Sebagaimana ujarnya, beberapa waktu lalu ‘kalah itu nggak enak’. Baru kemudian pada tahun 2024 sosok yang pantang menyerah ini, setelah berulang kali kalah dan kalah lagi di tingkat nasional mendulang kemenangan yang cukup gemilang dengan suara 96.214.691 atau 58,58 %.

Kekalahan yang disaksikan oleh seluruh penduduk Indonesia jelas terasa tidak enak, benar sekali ujarnya. Kemungkinan urat nyali menciut menjadi sangat mungkin. Tetapi jelas sekali tidak. Beberapa bulan sebelum tanggal 14 Februari 2024, yang menandai babak baru Indonesia dengan kepemimpinan sosok Komandan Jenderal,  Najwa Sihab dalam acara Mata Najwa sempat mengundangnya dan menyinggung soal pencalonan dirinya untuk kembali maju yang keempat kali dalam panggung politik.

Baca Juga :  Gaji Melimpah! Banyak Profesor Kampus Tak Bernyali di Ruang Publik

Penjelasan yang diberikan bisa jadi tidak argumentatif, karena bukan barang yang bisa dicerna oleh akal pada umumnya. Jawaban Presiden republik Indonesia ke 8 ini, “jadi orang yang seperti itu tidak faham artinya seorang pendekar, tidak faham seorang pejuang”. Kalimat tersebut ditujukan kepada mereka yang tanya terus kenapa maju lagi dan kalah dan maju lagi, secara tidak langsung yang bertanya seperti itu tidak faham dan bukan pendekar.

Entahlah apa yang dimaksud oleh presiden Indonesia ini, barangkali kita bisa faham setelah mengalami berbagai dinamika hidup yang melentingkan menjadi seorang pendekar atau pejuang. Bisa kalah berkali-kali tetapi tidak mau menyerah.

Tekatnya yang kuat berdasarkan moral sentimen publik jelas membangun sebuah kekuatan, yang mana apabila meminjam istilah dari Anthony Gidden sebagai kuasa moral yang mana bisa dibilang lebih akuntabel.

Pilpres 2024 menjadi ajang untuk merehabilitasi sejarah kekalahan yang pernah mencatat sosok Prabowo Subianto, sehingga ia dikenal sebagai seorang pejuang. Bisa dibayangkan apabila ia menyerah maka jejak yang tersisa adalah kenangan akan kekalahan itu sendiri.

Yang naas adalah nasib Rahwana, kalah perang dan tidak mempunyai kesempatan untuk beratrung lagi menjadikan sejarahnya berhenti pada sosok dirinya yang kalah dan antagonis.

Bicara mengenai istilah pendekar yang dibicarakan presiden kita, bukan sekedar entri dalam kamus, menarik sepertinya dengan sambungan acara di Mata Najwa tersebut.

Pada akhir sesi, menantu dari presiden Soeharto ini, ketika ditanya mengenai rekomendasi buku, ia menyarankan sebuah buku tipis karangan Paulo Coelho yang berjudul Warrior of the Light atau Ksatria Cahaya. Makhluk apa ini?

Dalam pengantarnya, Coelho sempat menjelaskan, “dia adalah seseorang yang mampu memahami keajaiban hidup, berjuang sampai akhir untuk sesuatu yang dia yakini dan mendengar lonceng yang dibunyikan ombak di dasar laut”.

Sekalipun bukan ini jawaban dari makna pendekar, setidaknya memberi kontribusi untuk menjelaskannya.  

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II
Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva
Enaknya Jadi Keluarga Koruptor
Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan
Belajar dari Arsenal dan Real Madrid
Dari Puasa (Ramadhan) ke Pembiasaan
Kita Adalah Don Quixote yang Terhijab
Lebaran yang Membumi

Baca Lainnya

Kamis, 17 April 2025 - 12:29 WIB

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Rabu, 16 April 2025 - 14:17 WIB

Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva

Selasa, 15 April 2025 - 14:46 WIB

Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Kamis, 10 April 2025 - 18:09 WIB

Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

Rabu, 9 April 2025 - 14:01 WIB

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB