Frensia.id- Setiap tanggal 22 April diperingati hari bumi sedunia. Pada tahun ini, sebagaimana dilansir dari detik.com, tema yang menjadi perbincangan relasi antara manusia dan bumi adalah berkaitan dengan penggunaan plastik.
Earth Day 2024 mengusung tema planet vs plastik. Sebagai upaya kampanye untuk mengakhiri penggunaan plastik.
Plastik dalam konteks ini, menjadi ancaman bagi keberlangsungan keseimbangan ekosistem dan mempunyai dampak yang cukup signifikan tidak hanya bagi bumi tetapi juga bagi penggunanya, yaitu manusia.
Ditinjau dari satu perspektif, tidak bisa dipungkiri sesuai kebutuhan hari ini plastik menjadi alat yang cukup efisien , semisal sebagai wadah atau kantong. Akan tetapi bekas penggunaannya juga berdampak sebagai polusi yang memberi ancaman kepada bumi.
Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan dalam dimensi berpikir dan bersikap yang seimbang, sehingga relasi antara manusia dan bumi terjalin harmonis.
Salah seorang pengajar filsafat lingkungan Universitas Indonesia, Saras Dewi dalam disertasinya yang kemudian dicetak menjadi buku. Judulnya, Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dan Alam.
Ia mengurai bagaimana relasi antara manusia dengan alam secara proposional, satu sisi tidak cenderung memusatkan pada kepentingan manusia, di sisi lain mengatur kepentingan manusia di dalam kerangka relasi dengan alam.
Dosen Universitas Indonesia kelahiran Denpasar-Bali ini, dalam penutup bukunya memberikan tiga catatan kritis yang memberikan nilai cukup signifikan untuk mengubah pola pikir. Besar kemungkinan nantinya mempunyai dampak etis pada relasi kehidupan antara manusia dan lingkungan.
Pertama, manusia mesti menyadari keistimewaan bumi dan betapa bernilainya untuk dapat menjalani kehidupan di bumi. Hal demikian dapat dimulai dengan merekonstruksi cara berpikir bahwa segala kehidupan yang ada di bumi bukan hak tunggal milik manusia.
Atas dasar itu, perubahan etis dapat terjadi apabila didukung dengan adanya tindakan etis yang berasal dari perenungan ontologis, tidak sekedar karena norma dan kebijakan negara.
Kedua, untuk mengatasi eksploitasi alam tidak harus memberlakukan prinsip etika lingkungan secara radikal, yaitu memisahkan manusia dengan alam. Relasi antara manusia dan alam agar bisa berjalan secara harmonis tidak lantas mengeliminir kepentingan manusia kemudian alam dijadikan sebagai pusat.
Hal ini dinilai tidak masuk akal, tetapi yang perlu diperhatikan adalah pembedaan antara kepentingan dan kebutuhan manusia yang bersinggungan dengan alam. Dimulai denga upaya merekognisi objek sebagai upaya keberpihakan terhadap alam. Mengakui relasi ontologis serta merta mengatakan ada ekuilibrium yang harus dirawat.
Ketiga, industrialisasi menyebabkan perubahan terhadap alam, suasana ini mengakibatkan terusiknya ketentraman dan gangguan psikologis serius bagi manusia.
Dalam penelitiannya, Saras Dewi memberikan saran untuk melakukan rekonstruksi budaya, dimulai dengan melakukan revitalisasi pengertian kebudayaan yang memposisikan alam tidak sekedar sebagai latar belakang. Akan tetapi, tujuan dan inti kehidupan manusia.
Kebudayaan baru mesti dibangun, melalui reformasi ekologi menuju gagasan utama, yakni kecintaan terhadap kehidupan.