Frensia.id- Berbeda sekali dengan penyair Libanon, Kahlil Gibran yang mempunyai hubungan emosional sangat dekat dengan ibunya. Bahkan anugerah sensitivitas yang ia miliki juga dipengaruhi oleh kasih sayang dari sang ibu, Kamilia Gibran.
Mahmoud Darwish penyair kenamaan Arab ini tidak mempunyai relasi yang baik dengan sang ibu. Pasalnya penyair kelahiran Palestina yang banyak memuat karya-karyanya dalam tema cinta ini merasa iri dengan sang kakak. Darwish menganggap bahwa ibunya, Houreyyah, lebih menyayangi kakaknya daripada dirinya.
Perasaan merasa terpinggirkan tersebut ia bawa sampai usianya beranjak dewasa, hingga sebuah peristiwa terjadi dan menyadarkannya pada tahun 1965.
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Mahmoed Darwish merupakan penyair kelahiran Palestina pada 13 Maret 1941 di desa Al Birwa di Galilea. Selain aktif mengarang bait-bait puisi, Darwish bekerja sebagai editor di sebuah surat kabar sepanjang 1970-an.
Puisi-puisi yang ia karang tidak sekedar membahas mengenai keindahan kata-kata dan cinta, tetapi juga berpretensi mengandung nilai perlawanan terhadap pendudukan Israel di tanah kelahirannya, Palestina.
Akhirnya kehidupannya cukup tidak tenang, Darwish sempat tinggal selama bertahun-tahun di pengasingan, Beirut, Lebanon dan Paris, Prancis.
Pernah suatu ketika pada tahun 1965, Darwish ditangkap oleh tentara Israel karena membacakan salah satu karyanya tanpa mengantongi izin, di Universitas Al-Quds. Akhirnya akibat kesalahan yang ia lakukan, Darwish mesti menyandang status sebagai tahanan rumah di Al-Ramlah.
Dengan perasaan sedih dalam tahanan, suatu hari Darwish dikunjungi oleh ibunya dengan membawakannya dengan membawakannya beberapa potong roti dan kopi.
Ketika hendak menyerahkan bekal kepada anaknya, petugas penjara melarang. Karena Houereyyah, ibu Darwish, cukup bersikukuh dan memaksa kepada sipirpenjara agar bisa mengirimkan bekal yang telah ia siapkan dari rumah kepada anaknya tersebut.
Sampai pada akhirnya, memperoleh izin. Seketika Darwish merasa bersalah hatinya luluh dan mencium tangan ibunya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejauh ini.
“ketika aku pergi, aku tidak pernah menemui permintaan maaf selain menuliskan puisi, sebuah permohonan maaf kepada ibuku karena kesalahanku yang tak pernah bisa memahaminya sebagaimana seharusnya seorang anak memahami ibunya”, ujarya.
Ketika ibunya pulang, Darwish lalu menuliskan sebuah puisi yang berjudul “aku rindu roti ibuku”. Karena tidak menemukan kertas, ia menuliskannya di atas aluminium foil. Kemudian ia bawa puisi tersebut setelah bebas dari penjara.
Berikut larik-larik yang ia tuliskan, dalam terjemahan bahasa Indonesianya, sebagai sebuah rasa penyesalan dan apresiasi terhadap kasih sayang ibunya yang selama ini tidak pernah ia fahami.
“Aku rindu roti ibuku
Kopi ibuku
Dan sentuhan ibuku
Masa kecil tumbuh dalam diriku
Dari hari ke hari
Aku mencintai hidupku
Karena jika aku mati
Aku malu pada air mata ibuku
Bawalah aku jika aku kembali suatu hari nanti
Sebagai tudung bulu matamu
Dan tutupilah tulangku
Dengan rumput yang yang diberkahi oleh sucinya kakimu
Perkuatlah ikatanku
Dengan helai rambut
Dengan benang yang menjuntai dari ujung bajumu
Aku ingin menjadi tuhan
Aku ingin menjadi tuhan
Tatkala aku bersua dengan relung hatimu
Ketika aku pulang, jadikanlah aku
Sebagai bahan bakar tungku perapianmu
Sebagai tali jemuran di atap rumahmu
Karena aku telah hilang pendirian
Tanpa doa siangmu
Aku telah tua
Bawakan aku bintang-bintang masa kecil
Sehingga aku dapat menemani burung-burung kecil
Ke arah pulang Menuju sarang penantianmu”