Perempuan Keturunan Arab Bondowoso yang Dikucilkan, Peneliti UIN KHAS Jember Sebut Risikonya Berat

Selasa, 10 Desember 2024 - 16:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Perempuan Keturunan Arab Bondowoso yang Dikucilkan, Peneliti UIN KHAS Jember Sebut Risikonya Berat (Sumber: Frensia Institute)

Gambar Perempuan Keturunan Arab Bondowoso yang Dikucilkan, Peneliti UIN KHAS Jember Sebut Risikonya Berat (Sumber: Frensia Institute)

Frensia.id- Perempuan Arab di Bondowoso menjadi sorotan dalam penelitian yang dilakukan dua akademisi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember, Devi Suci Windariyah dan Nina Sutrisno.

Dalam riset mereka, yang dipublikasikan di MULTIPLE: Journal of Global and Multidisciplinary pada tahun 2024, keduanya mengungkap pergulatan perempuan keturunan Arab yang menghadapi tekanan sosial karena menentang tradisi pernikahan endogami.

Tradisi ini telah mengakar kuat di Kampung Arab Bondowoso, dengan aturan turun-temurun yang mengharuskan perempuan Arab, atau syarifah, menikah hanya dengan laki-laki keturunan Arab, atau sayyid. Aturan tersebut dipandang sebagai bagian dari identitas budaya yang harus dijaga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, seiring perubahan zaman dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, sebagian perempuan mulai mempertanyakan aturan ini, melihatnya sebagai bentuk ketidakadilan yang membatasi kebebasan mereka dalam memilih pasangan hidup.

Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografis ini menggali lebih dalam realitas sosial dan budaya yang dihadapi syarifah. Temuan menunjukkan bahwa ketidakadilan gender dalam tradisi ini cukup mencolok.

Sayyid memiliki kebebasan untuk menikahi perempuan dari etnis lain, sementara syarifah dipaksa untuk patuh pada aturan endogami. Hal ini, menurut peneliti, menciptakan ketimpangan gender yang jelas.

Baca Juga :  Keren! Gagas Tuhan Inspirasi Kebebasan, Fawaizul Umam Dikukuhkan Jadi Guru Besar di UIN KHAS

Namun, perjuangan untuk melawan tradisi tidaklah tanpa konsekuensi. Peneliti mencatat bahwa perempuan yang berani menentang aturan tersebut menghadapi risiko besar, termasuk dikucilkan dari keluarga besar.

Lebih dari itu, mereka juga kehilangan hak mencantumkan nama keluarga, sebuah tindakan yang dianggap mencabut identitas mereka sebagai bagian dari komunitas Arab di Bondowoso. Tindakan ini sering kali berujung pada terputusnya tali persaudaraan, yang menambah beban emosional bagi perempuan yang memilih untuk melawan tradisi.

Tidak hanya itu, mereka yang melawan juga harus menghadapi stigma sosial yang berat. Komunitas cenderung menganggap mereka sebagai ancaman bagi harmoni tradisional.

Resistensi terhadap pernikahan endogami ini memunculkan dinamika baru, di mana perempuan menciptakan identitas yang berbeda dari kelompok mayoritas, menandai awal dari perlawanan terhadap dominasi budaya patriarkal.

Menurut kedua peneliti, perubahan ini adalah wujud nyata dari resistensi gender yang berakar pada kesadaran kritis. Perempuan Arab berjuang untuk mendefinisikan ulang peran mereka dalam komunitas yang selama ini dibangun di atas ketimpangan gender.

Baca Juga :  Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama

Ia menambahkan bahwa perjuangan ini tidak hanya soal hak untuk memilih pasangan hidup, tetapi juga soal mendapatkan pengakuan yang setara dalam struktur sosial dan budaya.

Dalam konteks yang lebih luas, Nina Sutrisno menjelaskan bahwa kasus di Bondowoso mencerminkan tantangan besar yang dihadapi perempuan dalam budaya patriarkal. Tradisi sering kali menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan, meskipun dunia terus berkembang menuju kesetaraan.

Penelitian ini, menurut Nina, memberikan wawasan penting tentang bagaimana perempuan di komunitas tertentu berupaya memperjuangkan hak mereka, meskipun harus membayar harga sosial yang mahal.

Melalui penelitian ini, kedua akademisi berharap dapat membuka dialog yang lebih luas tentang kesetaraan gender di komunitas tradisional.

Mereka juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis budaya dalam menangani ketimpangan gender, agar perubahan yang diharapkan dapat terjadi secara berkelanjutan tanpa mengabaikan nilai-nilai lokal.

Kisah perempuan keturunan Arab Bondowoso yang dikucilkan karena melawan tradisi ini menjadi cerminan bagaimana perjuangan untuk kesetaraan sering kali dihadapkan pada rintangan yang kompleks.

Di tengah tekanan sosial dan stigma, keberanian mereka menjadi inspirasi untuk terus memperjuangkan keadilan dalam segala bentuknya.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Harjabo 206: Jalanan Bondowoso Disulap Jadi Panggung Budaya Pelajar
Fraksi PPP DPRD Jember Sebut Reaktivasi Bandara Notohadinegoro Bisa Dongkrak Sektor Wisata-Ekonomi Lokal
Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia
Tanggapan Fraksi PKB DPRD Jember tentang Reaktivasi Bandara Notohadinegoro
Ribuan Maba UIN KHAS Jember Ikuti PBAK 2025, Usung Tema Ekoteologi
WASPADA! Peneliti Ungkap “Satu Benda” Paling Berbahaya Pemicu Kecelakaan Ojek Online di Jember
DPC PDI Perjuangan Banyuwangi Upacara Bendera HUT Ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Raih Penghargaan! KUA Kaliwates Terbaik Soal Engagement Media

Baca Lainnya

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:58 WIB

Harjabo 206: Jalanan Bondowoso Disulap Jadi Panggung Budaya Pelajar

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:20 WIB

Fraksi PPP DPRD Jember Sebut Reaktivasi Bandara Notohadinegoro Bisa Dongkrak Sektor Wisata-Ekonomi Lokal

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:16 WIB

Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia

Selasa, 19 Agustus 2025 - 13:52 WIB

Tanggapan Fraksi PKB DPRD Jember tentang Reaktivasi Bandara Notohadinegoro

Selasa, 19 Agustus 2025 - 10:24 WIB

Ribuan Maba UIN KHAS Jember Ikuti PBAK 2025, Usung Tema Ekoteologi

TERBARU

gambar Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia (Sumber: Grafis Frensia)

Educatia

Tanpa Bambu, Bumi Akan Mati! Kata Peneliti Universitas Kolombia

Selasa, 19 Agu 2025 - 15:16 WIB