Frensia.id – Pernahkah kita merasa jenuh saat harus memilih calon presiden yang, lagi-lagi, berasal dari lingkaran yang itu-itu saja? Bukan karena negeri ini kekurangan figur hebat, tetapi karena aturan presidential threshold (PT) yang mengharuskan calon presiden didukung oleh partai dengan minimal 20% suara legislatif.
Kebijakan ini awalnya bertujuan menyaring calon terbaik, tetapi ironisnya justru menutup peluang bagi banyak figur potensial untuk maju. Akibatnya, rakyat terjebak dalam siklus “dia lagi, dia lagi,” seolah demokrasi ini hanya milik orang-orang itu saja. Penghapusan presidential threshold menjadi jalan keluar untuk demokrasi yang lebih sehat dan inklusif.
Presidential threshold telah menciptakan monopoli politik oleh partai besar. Dengan persyaratan 20% suara legislatif, hanya partai besar atau koalisi yang memiliki hak menentukan calon presiden. Hal ini secara langsung menghambat munculnya calon alternatif, terutama dari partai kecil atau independen.
Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan keberagaman kandidat agar rakyat memiliki lebih banyak pilihan. Sebagai contoh, dalam Pilpres 2014 dan 2019, hanya ada dua pasangan calon yang maju dengan calon presiden yang sama, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Pertanyaanya, apakah selama satu dasarwsa atau 2 kali pilpres negeri ini tidak ada yang terbaik lagi, selain Jokowi-Prabowo. Kalau mau jujur, pasti ada, bahkan banyak, hanya dibatasi sistem. Fenomena ini menciptakan polarisasi tajam di masyarakat. Riset dari LIPI (2020) menunjukkan bahwa keterbatasan pilihan dalam Pilpres meningkatkan tingkat ketidakpuasan publik terhadap demokrasi hingga 60%.
Penghapusan presidential threshold, seperti yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, membuka peluang lebih besar bagi calon presiden independen dan partai kecil. Jika threshold dihapuskan, lebih banyak figur potensial dengan ide segar dapat maju. Hal ini memberikan rakyat kesempatan memilih calon berdasarkan kapasitas dan visi, bukan sekadar kekuatan politik di belakangnya.
Namun, penghapusan PT juga menuntut regulasi baru untuk mencegah fragmentasi suara yang terlalu banyak. Aturan teknis, seperti ambang batas suara minimal di putaran pertama, bisa menjadi solusi untuk memastikan kompetisi tetap kompeten.
Keuntungan penghapusan PT sangat jelas, demokrasi menjadi lebih inklusif, calon presiden yang lebih kompeten dan inovatif mendapat panggung, serta polarisasi politik berkurang. Selain itu, masyarakat tidak lagi dipaksa memilih dari pilihan terbatas yang terkadang hanya menjadi perpanjangan oligarki politik.
Untuk itu pentung adanya aturan pendukung, penghapusan PT juga bisa membawa risiko, seperti membanjirnya calon presiden tanpa kapasitas memadai. Oleh karena itu, perlu mekanisme penyaringan berbasis kualitas, misalnya melalui debat terbuka atau pengumpulan dukungan publik.
Putusan MK yang menghapus presidential threshold menjadi momentum penting untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Dengan membuka pintu bagi calon alternatif, rakyat tidak lagi terjebak dalam siklus “dia lagi, dia lagi.”
Sebaliknya, mereka diberi kebebasan memilih pemimpin terbaik yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Jika kita ingin membangun demokrasi yang kuat, saatnya mengakhiri dominasi elite politik dan memberikan panggung kepada mereka yang memiliki kapasitas untuk membawa perubahan nyata.*