Frensia.id – Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Islam Futura tahun 2025 mengungkap peran besar Waly Al-Khalidy dalam membentuk otoritas keagamaan di Aceh.
Studi ini dilakukan oleh Sehat Ihsan Shadiqin dan tim akademisinya dari berbagai universitas, yang mengeksplorasi kehidupan serta kontribusi ulama besar Aceh tersebut.
Sebagaimana diketahui, Abuya Muda Waly—nama lengkapnya Teungku Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy—adalah seorang ulama kharismatik dari Aceh Selatan. Istrinya, Ummi Hajjah Rabi’ah Jamil Jaho, pernah mencatat namanya sebagai Syekh Haji Muhammad Wali, Asyafi’i Mazhaban, wal Asy’ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan.
Lahir pada 1917 di Blang Poroh, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Muda Waly tumbuh dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Ayahnya, Syekh Haji Muhammad Salim, berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat, sementara ibunya, Siti Janadat, merupakan keturunan Aceh asli.
Penelitian ini menyoroti bagaimana Muda Waly memainkan peran penting dalam pendidikan Islam, praktik sufi, dan dinamika politik keagamaan di Aceh. Sebagai pendiri Pondok Pesantren Darussalam di Labuhanhaji, ia menciptakan pusat pembelajaran Islam yang berpengaruh di wilayah tersebut.
Selain itu, ia juga berkontribusi dalam menyebarkan tarekat Naqshbandiyya Khalidiyya dan mempertahankan teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Tidak hanya di ranah pendidikan dan sufisme, Muda Waly juga aktif dalam politik keagamaan. Ia terlibat dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), sebuah organisasi Islam tradisionalis yang kerap berhadapan dengan arus modernis dalam berbagai perdebatan keislaman.
Melalui PERTI, ia mempertahankan tradisi Islam yang berbasis pesantren serta berperan dalam membentuk jaringan otoritas ulama di Aceh.
Pendekatan penelitian ini menggunakan teori silsilah Foucault untuk menelaah bagaimana pemikiran dan otoritas Muda Waly terbentuk. Studi ini menelusuri latar belakang pendidikannya di Sumatra dan Mekkah, keterlibatannya dalam diskursus teologis, serta strategi politiknya dalam membentuk lanskap keagamaan Aceh.
Para peneliti berpendapat bahwa warisan intelektual Muda Waly tidak hanya berkaitan dengan pendidikan dan sufisme, tetapi juga merupakan proses kompleks dalam membangun otoritas keagamaan melalui negosiasi dan perlawanan terhadap gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bagaimana Muda Waly membangun legitimasi keagamaannya melalui jejaring ulama, sistem pendidikan pesantren, dan penyebaran tarekat sufi.
Dengan pendekatan yang mengakar pada tradisi, ia berhasil mempertahankan eksistensi ajaran Islam tradisional di tengah perubahan zaman. Perlawanan terhadap gerakan modernis juga menjadi salah satu aspek yang memperlihatkan bagaimana otoritas keagamaannya terus diuji dan dikonstruksi ulang.
Peneliti menyimpulkan bahwa warisan epistemik Muda Waly tetap relevan dalam lanskap keagamaan Aceh dan Indonesia secara lebih luas. Studi lebih lanjut diharapkan dapat menggali bagaimana warisan pemikirannya terus berkembang di tengah tantangan teologis dan politik kontemporer.
Apakah nilai-nilai yang ia perjuangkan masih bertahan atau mengalami transformasi? Itu menjadi pertanyaan menarik bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Dengan adanya penelitian ini, publik kini memiliki perspektif baru tentang peran Waly Al-Khalidy dalam membangun otoritas keagamaan di Aceh, sekaligus memberikan wawasan lebih luas tentang bagaimana tradisi keislaman berkembang di Nusantara.