Frensia.id – Akhirnya, DPR resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Regulasi ini dipastikan tidak lagi mengakomodasi pemberian izin usaha tambang kepada perguruan tinggi.
Keputusan ini menjadi angin segar bagi kalangan yang sejak awal menolak keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, karena dinilai berisiko mempercepat eksploitasi sumber daya alam, bukan memperkuat prinsip keberlanjutan.
Alih-alih fokus pada riset dan konservasi, kampus dikhawatirkan akan terseret dalam praktik eksploitasi yang menguntungkan segelintir pihak. Indonesia sendiri masih bergulat dengan dampak negatif pertambangan—deforestasi, pencemaran lingkungan, hingga konflik lahan dengan masyarakat adat. Jika tidak diawasi dengan ketat, revisi UU Minerba bisa menjadi celah bagi eksploitasi yang mengorbankan keseimbangan ekologi.
Dalam konteks ini, perspektif Islam menawarkan cara pandang yang lebih etis dan berorientasi pada keseimbangan. Umaiyatus dkk, dalam studinya Environmental Conservation in M. Quraish Shihab and Hamka’s Perspective, mengungkapkan bahwa para mufasir menekankan konservasi lingkungan sebagai tugas manusia.
M. Quraish Shihab dan Buya Hamka, dua mufasir besar Indonesia, menekankan bahwa manusia adalah khalifah di bumi—bukan pemilik mutlak, tetapi penjaga yang bertanggung jawab. Eksploitasi sumber daya alam tidak boleh serakah dan harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.
Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, menegaskan bahwa bumi diciptakan dalam keseimbangan, dan merusaknya adalah bentuk ketidakadilan. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, memperingatkan bahwa kerakusan manusia terhadap alam bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga cerminan lemahnya moralitas dan spiritualitas.
Pandangan ini semakin relevan di tengah realitas saat ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang 2022 terjadi lebih dari 3.500 bencana di Indonesia, sebagian besar terkait dengan faktor lingkungan. Ini bukan hanya bencana alam, tetapi juga bencana kebijakan dan pola pikir manusia yang abai terhadap keseimbangan ekologi.
Dalam Islam, konsep ‘adl (keadilan) menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus proporsional—cukup untuk memenuhi kebutuhan, tetapi tidak berlebihan hingga merusak keseimbangan. Namun, dalam praktiknya, keserakahan sering kali mengabaikan prinsip ini. Dari pembabatan hutan untuk industri hingga pencemaran air oleh limbah tambang, manusia seolah lupa bahwa mereka bukan satu-satunya makhluk yang berhak hidup di bumi.
Ke depan, pendekatan berbasis nilai Islam dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi bagian dari kebijakan pembangunan. Prinsip khalifah mengajarkan bahwa manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan penjaga yang bertanggung jawab untuk melestarikannya bagi generasi mendatang. Kesadaran ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis lingkungan, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat.
Hamka mengingatkan bahwa manusia yang baik bukan hanya yang tidak merusak, tetapi juga yang memperbaiki. Artinya, menjaga lingkungan tidak cukup hanya dengan menghindari eksploitasi berlebihan, tetapi juga dengan memulihkan ekosistem yang sudah rusak. Penghijauan, pengelolaan limbah yang lebih baik, serta kebijakan yang berpihak pada lingkungan harus menjadi agenda utama pembangunan.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin menjadi generasi yang meninggalkan bumi dalam kondisi lebih baik, atau justru mewariskan krisis yang semakin sulit diperbaiki? Menjaga alam bukan sekadar wacana, tetapi bagian dari tanggung jawab moral, spiritual, dan keberlanjutan hidup bersama.*