Legitimasi Sistem Pendidikan

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

ilustrasi ijazah sebagai produk lembaga pendidikan

ilustrasi ijazah sebagai produk lembaga pendidikan

Frensia.id- Polemik ijazah presiden RI ke-7 Jokowi tidak kunjung usai. Media terus saja menyuguhkan perkembangan persoalan tersebut secara bertubi-tubi dari berbagai sisi. Sebenarnya apa pentingnya ijazah bagi seseorang yang telah memimpin Indonesia selama sepuluh tahun, hingga mengantarkannya sampai hari ini. Jelas bukan untuk mengetahui reuni alumni presiden Jokowi itu dengan siapa, dimana dan angkatan berapa.

Ijazah kali ini bukan sekedar persoalan bahwa seseorang telah menjadi alumni, tetapi persoalan administrasi. Benar sekali, secara umum tanpa menyangkut-pautkan problem presiden, ijazah adalah lembaran administratif dan berfungsi sebagai persyaratan kerja, tidak bisa dimaknai selain itu. Semisal sebagai acuan kapasitas. Tambah lagi semakin banyak ijazah yang dimiliki (mulai dari SD hingga perguruan tinggi) intensitas datangnya undangan reuni semakin banyak, karena mendapatkan pengkuan sebagai alumni sekolah ini dan itu.    

Lebih daripada itu ijazah tidak lebih daripada selembar kertas produk lembaga pendidikan. Lebih menarik lagi meminjam istilah dari Rocky Gerung, “ijazah adalah tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang pernah berpikir”.

Idealnya memang sekolah mengajarkan anak didiknya untuk berpikir, sehingga bisa dikatakan setelah lulus harus mendapatkan pengakuan bahwasannya ia telah menyelesaikan cara berpikir yang telah diatur oleh sekolah dalam bentuk kurikulum. Tetapi kenyataanya banyak juga yang bisa memperoleh ijazah tetapi belum bisa berpikir. Sampai disini Rocky masih mendapatkan pembenaran.

Tidak jauh berbeda dengan sertifikat seminar, entah dalam skala nasional atau internasional sekalipun, orang tidur pun di acara juga diberi sertifikat. Belum ada orang diberi sertifikat karena berhasil merealisasikan ide-ide narasumbernya. Paling-paling yang ada peserta seminar justru akan mementahkan apayang disampaikan narasumber, seperti bilang,”ah, orang itu cuma berteori, tidak semudah itu”. Dan hal semacam ini adalah irisan dari rangkaian fakta yang benar-benar terjadi dalam forum seminar.

Baca Juga :  Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

Lembaga-lembaga pendidikan kita sebenarnya sukses untuk membuat sebuah asumsi bahwa orang dengan ijazah berarti telah mendapatkan pengakuan akan kapasitas. Dengan begitu seseorang yang berkapasitas berarti adalah orang yang siap menjalani kompetisi, lebih-lebih dalam dunia kerja. Seseorang yang ijazahnya lebih tinggi akan lebih diprioritaskan daripada yang ijazah rendah. Soal skill adalah hal lain. Yang penting diakui.

Hanya saja cukup miris, dengan alur terbaliknya. Jika orientasi di ujung adalah kerja, sedangkan tujuan kerja adalah hidup makmur tanpa ada kekuarangan dari segi finansial atau boleh dikatakan kaya. Ternyata hal ini menjadi kompatibel bagi orang-orang yang terlahir dari orang tua kaya raya, kebanyakan dari mereka (bukan berarti semua) cenderung malas untuk sekolah tinggi-tinggi atau dalam arti lain malas mendapatkan predikat berpendidikan dari institusi-institusinya.

Anak orang kaya lebih memilih untuk hidup enak dengan berfoya-foya, tanpa harus berpikir kalau uangnya akan habis, selama tiap harinya bisa bangun siang kemudian sarapan sudah tersaji, artinya sinyal kekayaan masih kuat dan besok bisa diulangi. Jika tidak begitu, maka bisa memilih untuk kerja keras (tanpa harus sekolah tinggi-tinggi) dengan bakat bawaan, yaitu kemampuan kerja yang berasal dari DNA dari orang tuanya, dimulai dengan memegang jabatan penting di perusahaan atau menangani proyek besar dari orang tua. Bisa jadi juga, karena malas bekerja keras ambil jalan lain, yaitu masuk ke dunia politik dengan maju menjadi caleg atau bupati. Toh, modal kampanye juga sudah ada. Lebih-lebih persyaratan ijazah yang digunakan untuk maju menjadi pejabat tidak butuh tinggi-tinggi. Ijazah yang tinggi juga tidak mempengaruhi suara. Jadi aman saja.

Baca Juga :  Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva

Ini semua adalah fakta yang menjadi bukti dari sekolah adalah cara seseorang untuk mendapatkan klaim dari pihak-pihak yang akan menunjang karirnya demi upaya untuk mencari uang.

Pendapat sejenis ini pernah diucapkan oleh karakter film Ali Topan (2023) bahwasannya sekolah tidak memberikan jaminan apa-apa selain legitimasi dari sistem pendidikan. Perlu diketahui Topan, diperankan oleh Jefri Nichol, adalah simbol pemberontakan dan keberanian mengambil jalan hidup termasuk untuk tidak kuliah lantas hidup di jalanan. Ia merupakan anak orang berpunya, hanya saja broken home.

Jika sejak lahir karpet merah telah digelarkan maka buat apa capek-capek mencarinya, termasuk dengan menemukan cara untuk memantaskan diri sebagai orang yang layak, semisal pengakuan dari khalayak pada aspek pendidikan.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?
Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya
Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar dan Celah Regulasi
Ganti Menteri, Kenapa Harus Ganti Kurikulum?
Kematian Agama dan Panggung Derita Buruh
Menata Ulang Posyandu
Kartini, Lentera Kaum Kecil
Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Baca Lainnya

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

Legitimasi Sistem Pendidikan

Kamis, 15 Mei 2025 - 13:45 WIB

Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?

Kamis, 8 Mei 2025 - 16:51 WIB

Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya

Rabu, 7 Mei 2025 - 11:58 WIB

Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar dan Celah Regulasi

Senin, 5 Mei 2025 - 13:50 WIB

Ganti Menteri, Kenapa Harus Ganti Kurikulum?

TERBARU

ilustrasi ijazah sebagai produk lembaga pendidikan

Kolomiah

Legitimasi Sistem Pendidikan

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

Educatia

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Jumat, 16 Mei 2025 - 03:57 WIB