Frensia.id- Albert Camus merupakan salah satu sastrawan terkemuka Prancis pada abad 20. Ia mendapatkan nobel sastra pada tahun 1957 ketika usianya bisa terbilang cukup muda, yaitu 44 tahun.
Pria kelahiran Prancis pada tahun 1913 ini memberikan warna baru dalam dunia kesusastraan dengan kontribusinya untuk melihat kehidupan manusia lewat sebuah gagasan yang dikenal dengan absurditas.
Menurut Camus, hidup manusia itu absurd berdasarkan kondisi yang melingkupinya, yaitu masa depan yang sementara dan mengarah kepada kematian. Seseorang tidak pernah bisa memprediksi jalan kehidupannya secara rasional, karena segalanya selalu datang secara tiba-tiba tanpa memberi isyarat apapun.
Secara rasional, manusia pada umumnya ketika menyikapi sisi absurditas dari kehidupannya tersebut, banyak yang lari kepada agama dan ideologi. Sebagian yang lain bahkan dengan nekat melakukan tindakan bunuh diri.
Camus menolak pandangan itu semua, menurutnya suasana absurd yang menyelimuti kehidupan harus dilawan dengan cara melakukan ‘pemberontakan’. Terminologi ini ia maksudkan sebagai solusi dalam arti seseorang diharuskan hidup dengan berani, tanpa ada sedikitpun rasa takut terhadap segala sesuatu yang tidak bisa diperkirakan.
Buah pikirannya tersebut tercermin dalam berbagai karyanya. Untuk memaham gagasan absurditas yang dicetuskan oleh Camus tidaklah mudah. Berikut merupakan urutan cara membaca gagasan-gagasan sastrawan Prancis ini berdasarkan sistematika berpikir dalam bingkai absurditas yang ia maksudkan.
The Stranger (1942)
Novel tipis dengan cerita sederhana ini akan memberikan wawasan sebagai pembuka bagi pembaca tentang absurditas. Pembaca akan dituntun lewat tokoh bernama Mersault, ketika hidup kehilangan makna.
Lewat novelnya ini, pembaca tidak akan sedang didoktrin dengan berbagai konsep yang berbelit-belit. Melainkan akan disuguhi premis-premis lewat berbagai kejadian tentang apa sejatinya absurditas itu.
The Myth Of Sysiphus (1942)
Setelah titik terang abdsurditas sudah semakin jelas, selanjutnya lewat esei-eseinya dengan meletakkan mitos legendaris Yunani, Sysipus sebagai pemeran utama, Camus akan mengajak pembacanya menjawab sebuah pertanyaan, apabila hidup tidak bermakna, mengapa tidak berputus asa saja?
Dengan analogi sosok Sysipus, pria yang mendapatkan hukuman dari dewata untuk menggiring batu ke puncak gunung dan selalu sia-sia, pembaca akan menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan paling radikal dalam hidup yang sedang ia alami.
Caligula (1944)
Setelah keputusasaan dan kesia-siaan dalam hidup bisa terproyeksikan sebagai bentuk lain dari kebebasan. Kemudian salah satu tawaran Camus untuk memaknai kebebasan adalan dengan melihatnya dari sudut pandang kegilaan. Caligula karya Camus yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1944 memberikan kontribusi akan hal tersebut.
The Fall (1956)
setelah menyusuri kebebasan lewat kegilaan, Camus mengajak pembaca untuk mulai berani terhadap situasi, hal tersebut dicerminkan dengan kemauan dan kemampuan diri untuk melakukan pengakuan.
Berdasarkan cerita dalam novel The Fall dengan mengikuti tokoh utamanya Jean-Baptise Clamence, pembaca akan diajak untuk mengerti bahwa kebaikan bisa menyimpan kesombongan dan pengakuan bisa menjadi bentuk manipulasi.
Manusia Pemberontak (1951)
Buku selanjutnya, yang berjudul ‘Manusia Pemberontak’, Camus akan memberikan solusi dari berbagai suasana absurditas, keheningan, kesia-siaan dalam hidup dengan caranya sendiri yaitu memberontak.
Sekalipun pemberontakan adalah bentuk keberanian yang selalu mencoba untuk mengafirmasi berbagai situasi, tetapi Camus tetap menandaskan akan pentingnya tanggung jawab. Ia mewanti-wanti agar tidak dengan mudah terjerembab dalam nihilisme.
The Plague (1947)
Jika ‘Manusia Pemberontak’ berisi gagasan bertindak secara pribadi untuk menyikapi situasi yang pribadi pula, maka The Plague adalah sebuah bentuk cara lain dari upaya mengafirmasi kehidupan dalam konteks sosial yang lebih luas. terdapat tuntutan kesetiaan dan konsistensi untuk senantiasa hadir dalam berbagai situasi.
Sebagaimana alur cerita dalam Novel The Plague ini yang menggambarkan sebuah kota yang tertimpa wabah. Camus tidak menghadirkan sosok pahlawan hanya orang-orang biasa dengan kesetiaannya kepada sesama sebagai senjata paling utama.