Frensia.id -Konstitusi bukan anak kandung siapa pun, tapi sering diperlakukan seperti titipan keluarga. Itulah yang terasa ketika seorang legislator memperingatkan calon hakim Mahkamah Konstitusi agar tidak ‘menghantam’ DPR. Seakan-akan, kesetiaan kepada induk politik lebih penting ketimbang kesetiaan pada hukum dasar negara.
Ungkapan “jangan menghantam DPR” terlontar dari anggota Komisi III, Safaruddin, saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada 20 Agustus 2025. “Bapak dipilih dari DPR, jangan kembali menghantam DPR.” Kalimat yang sekilas terdengar ringan, seolah basa-basi politik belaka, namun sejatinya menyimpan persoalan yang jauh lebih serius.
Di baliknya, ada pertarungan antara independensi hukum dan mentalitas asal-usul politik yang masih bercokol dalam tubuh demokrasi kita.
Apa yang dimaksud dengan “jangan menghantam DPR”? Apakah itu pengingat agar Inosentius tidak melupakan jalan yang membawanya ke kursi hakim MK? Ataukah sebuah pesan terselubung bahwa loyalitas politik harus tetap dijaga meski ia kini duduk di lembaga yudisial?
Kalau yang dimaksud adalah yang kedua, maka di situlah letak bahaya terbesar. Hakim konstitusi bukanlah perpanjangan tangan DPR. Mereka disumpah untuk setia kepada Undang-Undang Dasar, bukan kepada lembaga yang mengusulkannya. Dalam sistem demokrasi, seorang hakim MK justru wajib “menghantam” DPR jika undang-undang yang dihasilkannya bertentangan dengan konstitusi dan merugikan rakyat.
Ucapan Safaruddin ini terasa semakin ganjil bila kita menengok lagi ke akar teori politik modern. Montesquieu, dalam L’esprit de Lois, jelas sekali mengurai pentingnya pemisahan kekuasaan. Negara modern harus dijalankan oleh tiga cabang kekuasaan yang terpisah: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Prinsip ini dikenal sebagai trias politica, —meski konon katanya Montesquieu tidak pernah menyebut istilah ini— fondasi utama demokrasi kontemporer. Tanpa pemisahan yang jelas, hukum akan terjebak dalam tirani mayoritas. Maka, ketika DPR menuntut kesetiaan seorang hakim MK hanya karena ia lahir dari jalur politik DPR, hakekatnya DPR sedang mengaburkan garis batas yang seharusnya dijaga dengan tegas.
Kita tahu, masalah ini bukanlah barang baru. Sejak kelahirannya, Mahkamah Konstitusi selalu berada dalam pusaran tarik-menarik kepentingan. Mekanisme pembagian jatah—tiga dari Presiden, tiga dari DPR, tiga dari Mahkamah Agung—membuat hakim MK seolah-olah punya label asal-usul.
Konsekuensinya, muncul ekspektasi politik bahwa seorang hakim harus “ingat jasa” pada pengusungnya. Namun sejarah juga membuktikan bahwa tidak semua hakim MK tunduk pada logika itu. Banyak yang justru berani mengoreksi DPR lewat putusan-putusan penting, seperti ketika MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil.
Putusan semacam itu memang memicu ketegangan politik, tetapi begitulah cara demokrasi bekerja.
Bahaya terbesar dari ucapan “tidak menghantam” adalah normalisasi pandangan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi hanyalah kepanjangan tangan politik. Lebih miris lagi, ungkapan ini datang dari seorang anggota DPR—wakil rakyat yang seharusnya paham betul bahwa lembaganya pun tak luput dari kekhilafan. DPR bukan malaikat.
Begitu masyarakat percaya bahwa hakim yang diusulkan DPR akan selalu berpihak pada DPR, dan yang diusulkan Presiden akan selalu berpihak pada Presiden, legitimasi moral lembaga ini pun runtuh. MK akan dianggap sekadar arena barter kepentingan, bukan benteng konstitusi.
Lebih jauh, kualitas demokrasi ikut terancam. Check and balance hanya mungkin berjalan jika ada institusi independen yang berani mengoreksi. Kalau itu hilang, yang tersisa hanyalah demokrasi yang kebablasan tanpa pagar hukum.
Menariknya, jawaban Inosentius membawa angin segar. Ia menegaskan bahwa memahami kelemahan DPR bukan berarti menghantam, melainkan bagian dari kontribusi agar produk hukum lebih baik. Sebuah pernyataan yang terdengar bijak, meski tentu ujian sebenarnya belum dimulai.
Independensi bukan hanya soal kata-kata dalam forum uji kelayakan, melainkan keberanian nyata menghadapi tekanan ketika undang-undang buatan DPR diuji di hadapannya. Godaan politik, bahkan godaan ekonomi, akan selalu datang. Pertanyaannya: mampukah ia menolak godaan itu, sekalipun harus berhadapan dengan lembaga yang dulu memberinya tiket?
Pernyataan Safaruddin justru mengaburkan makna dari mekanisme seleksi hakim MK. Skema tiga hakim dari DPR, tiga dari Presiden, dan tiga dari Mahkamah Agung bukanlah sistem bagi-bagi jatah kekuasaan, melainkan refleksi dari trias politika: tiga cabang negara diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan calon.
Dari situ, hakim MK lahir bukan untuk tunduk pada pengusungnya, melainkan untuk tunduk pada konstitusi. Begitu ia mengucapkan sumpah, habislah urusan asal-usul. Yang tersisa hanyalah kewajiban moral dan hukum: menjaga kebenaran dan menegakkan konstitusi negara.
Pada akhirnya, rakyat berharap satu hal: Mahkamah Konstitusi tetap berdiri sebagai benteng keadilan konstitusional. Seorang hakim MK memang harus siap dianggap “menghantam DPR” jika produk DPR melanggar konstitusi. Justru di situlah kehormatannya. Montesquieu sudah mengingatkan berabad-abad lalu: kekuasaan yang tak dipisahkan hanya akan melahirkan tirani.
Kalau hakim MK sibuk menjaga perasaan lembaga yang memilihnya, lalu siapa yang akan menjaga konstitusi?