Narasi Pincang Pesantren

Selasa, 14 Oktober 2025 - 12:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Abd Munib*

Frensia.di – Potongan video berdurasi lebih kurang dua menit menggema di jagat maya berlogo Trans7. Sebuah tayangan memperlihatkan suasana pesantren dengan latar gelap, musik dramatis, suara narator yang dibuat seolah-olah mengungkap skandal besar. Membaca tayangan tersebut rasa-rasanya seperti sedang menonton. true crime. Santri yang berjalan penuh tahormat ditampilkan dengan konteks ngesot. Begitulah cara sebagian media bekerja akhir-akhir ini yang memotret realitas dengan lensa buram lalu menyebarkannya secepat kilat.

Ruang untuk menyelami kedalaman realitas lenyap bahkan bertanya pun tidak sempat. Narasi yang dibangun jauh panggang dari api berdasarkan riset lapangan justru didramtisir menggunakan asumsi. Alih-alih menyusun mosaik yang utuh, Tv nasional itu memilih fragmen yang sensasional. Naifnya, fragmen itulah yang dipercayai publik sebagai cermin kenyataan. Trans7 bukan pemain baru sehingga paham betul cara membentuk persepsi yang kemudian menurunkan liputan soal pesantren dengan pemangkasan konteks yang brutal.

Pesantren tidak dilihat sebagai lembaga pendidikan yang dinamis justru sebagai latar stereotip dari problem sosial. Tidak ada sejarah panjang perjuangan, tidak ada ruang dialog, tidak ada keragaman wajah pesantren yang sebenarnya. Semua dipadatkan dalam satu narasi tunggal, kecurigaan namanya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism menyebutkan sembilan elemen jurnalisme yang seharusnya menjadi pedoman kerja wartawan. Salah satu elemen kuncinya adalah bahwa jurnalisme harus menjadi disiplin verifikasi.

Artinya, setiap informasi harus diuji, dicek, dan ditelusuri akarnya sebelum disiarkan ke publik. Melalui tayang Tarns7, kita dihadapkan pada upaya menyusun kenyataan palsu dalam waktu sesingkat-singkatnya. Wartawan tidak lagi berjalan kaki ke lokasi. Cara kerjanya cukup menonton dari layar, mengedit dari jauh, lalu menyimpulkan. Jelas! itu bukan produk jurnalistik tetapi penggandaan persepsi yang malas dan sembrono. Produk jurnalistik macam itu sudah menjadi gejala sistemik.

Baca Juga :  "Dosa-Dosa" Polri: Reformasi atau Transformasi?

Fenomena pemberitaan sejenis itu menunjukkan media telah terjebak pada kepentingan ekonomi sehingga memaksa cara kerjanya digerakkan oleh klik dan rating. Akibatnya, kedalaman dan kesahihan informasi dikorbankan. Seperti fast food, berita pun harus cepat, menggugah, penuh rasa kendati tanpa gizi. Tak mengherankan jika liputan media tentang pesantren lebih menyerupai trailer film horor, potong sana, tegangkan sini, lalu beri judul yang membakar imajinasi.

Padahal, pesantren bukan entitas tunggal sebab di balik tembok-tembok itu ada ribuan cerita. Mulai dari dari anak-anak yatim yang diberi tempat tinggal tanpa biaya, santri menyalin kitab dengan tangan hingga kiai yang mendidik dengan penuh kesabaran. Kritik pada pesantren memang perlu tetapi bukan melalui potongan visual yang disusun sesuka-suka guna memancing emosi. Penting diingat, ketika pesantren diberitakan secara gegabah maka komunitas lain pun berada dalam risiko. Sekolah, gereja, komunitas adat tak satu pun akan aman jika standar liputannya cari sensasi.

Baca Juga :  Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja

Publik perlu berbenah diri tentang literasi media yang tidak berhenti pada kemampuan membedakan berita hoaks. Literasi perlu diimbangi dengan kecakapan membaca narasi seperti siapa yang berbicara, dalam konteks apa, dan apa yang sengaja disembunyikan. Tanpa itu, masyarakat hanya akan menjadi korban dari industri persepsi yang menjual emosi alih-alih informasi.

Jurnalisme yang berkualitas bukan sekadar menyajikan fakta tetapi mengemban tanggung jawab terhadap dampak. Artinya, masyarakat pesantren layak dipotret dengan lensa yang jernih jangan dengan lensa yang telah retak oleh kepentingan. Alhasil, pesantren tidak butuh pembelaan emosional dan cukup berikan keadilan narasi

* Penulis Buku Sertifikasi Dai: Wacana dan Pro-Kontra Narasi

  • Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Frensia.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.
Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

“Dosa-Dosa” Polri: Reformasi atau Transformasi?
Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja
Arogansi Demonstrasi: Antara Aspirasi atau Pemecah Belah Bangsa
“Jangan Menghantam DPR”: Retaknya Independensi MK
Membaca Hukum Lewat Kacamata Hans Kelsen
Melestarikan Jaringan
Menjinakkan Keliaran
Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum

Baca Lainnya

Selasa, 14 Oktober 2025 - 12:22 WIB

Narasi Pincang Pesantren

Sabtu, 27 September 2025 - 06:55 WIB

“Dosa-Dosa” Polri: Reformasi atau Transformasi?

Senin, 22 September 2025 - 15:24 WIB

Ijazah Palsu dan Misteri Dunia Kerja

Selasa, 2 September 2025 - 16:54 WIB

Arogansi Demonstrasi: Antara Aspirasi atau Pemecah Belah Bangsa

Jumat, 22 Agustus 2025 - 10:40 WIB

“Jangan Menghantam DPR”: Retaknya Independensi MK

TERBARU

Opinia

Narasi Pincang Pesantren

Selasa, 14 Okt 2025 - 12:22 WIB