Frensia.id- Sejarah guru adalah deretan cerita pengorbanan rasa dan nyala empati. Para guru dalam arti harfiahnya atau mereka yang merepresentasikan makna guru yang sejati tidak sedikit mencurahkan waktu, ketegangan syaraf dan rela tetap dalam kondisi ekonomi yang kurang mumpuni tetapi tetap saja mengajar. Terdapat kekuatan aneh yang mendorongnya untuk menggeluti profesi tersebut. Mirip-mirip sebagai aktivis sosial, pada aspek paling manusiawi. Bahkan melebihi aktivis sosial yang secara khusus menyoal hak perut.
Berdasarkan realitanya orang hidup, jelas sekali para guru tidak menggunakan akalnya dalam fungsinya dibawah bayang-bayang kesadaran bahwa mereka juga mempunyai potensi sebagai serigala yang bisa memilih untuk memangsa sesamanya (homo homini lupus). Karena ada hal lain (kekuatan aneh) dalam dirinya yang menyangkal dan menolak instruksi alamiah untuk mementingkan dirinya sendiri atau memangsa yang lain di luar dirinya.
Seorang kawan yang berprofesi sebagai guru (sebagaimana guru dalam deskripsi diatas), merasa aneh dan heran terhadap dirinya sendiri dan kawan-kawannya yang senasib dan seperjuangan. Bagaimana bisa guru-guru dengan bayaran minimalis sekali, beristri dan beranak. Serta ditambahi beban-beban kehidupan yang tidak pernah bisa terprediksi, sedangkan angka atau rupiah yang diterimanya karena turut serta membersamai putra dan putri orang lain agar menjadi pintar, mampu bertahan hidup dengan bayaran segitu-gitu saja? jawabannya sendiri sudah ia jalani dan praktikkan dalam hidupnya selama beberapa tahun sampai akhirnya ia diterima sebagai guru dengan status PPPK. Mungkin bila menggunakan kosa kata, ini yang disebut dengan barokah. Penulis yang bukan merupakan seorang guru hanya dapat berucap Wallahu’alam.
Setelah ia menjabat sebagai guru PPPK baru tidak ada yang ajaib. Karena memang bayaran lebih daripada layak. Sedangkan guru dengan bayaran yang minimalis disitulah ajaibnya. Hanya mereka yang bisa sabar dan telaten merawat pikiran anak orang dengan bayaran minimalis patut dipertanyakan. Mengapa Tuhan memberikan anugerahnya pada orang-orang itu saja, untuk senantiasa setia dengan gaji murah sedangkan jasa tinggi?
Satu contoh yang populer, seperti yang dijalani oleh Mbah Manab, pendiri pondok pesantren Lirboyo. Beliau rela sehari penuh mengajar para santrinya dan tidak merepotkan diri untuk mencari kekayaan. Soal apa yang dimakan di dapur, beliau pasrah kepada Ibu Nyai. Jika ada berarti makan, dan sebaliknya. Bagi orang sekarang ini jelas sekali tidak realistis. Tetapi lepas dari anggapan orang sekarang, Pesantren Lirboyo atas keikhlasan Mbah Manab menjadi salah satu lembaga pendidikan terbesar yang telah memberikan kontribusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam wujudnya yang paling signifikan.
Bahkan bisa dibilang kontribusinya melampaui kementrian-kementrian yang mengalokasikan dana besar untuk lembaga pendidikan yang diasuhnya. Dimana sekolah-sekolah yang bersandar dana dari APBN jelas sekali jika tidak ada anggaran, kalender dicoret merah, libur.
Hari-hari ini dapat kita tonton dengan cermat, terdapat pergeseran kualitatif dari entitas profesi guru. Setelah pemerintah memberikan program kelayakan gaji dengan berbagai variasinya, justru menjadi godaan yang nyata bagi keikhlasan seorang guru. Jika sejak awal guru adalah profesi pengabdian kemudian bisa bergeser menjadi profesi pekerjaan. Oleh karena itu, tidak sedikit mereka yang berseragam tiap pagi sulit dibedakan antara guru dan pegawai, karyawan, pekerja atau apapun istilahnya. Jika mentalitas pendidikan sebagai guru tidak dirawat dengan baik, sekalipun tidak menyamai Mbah Manab setidaknya ada mirip-miripnya, maka ucapan ‘selamat hari guru’ kurang pantas diutarakan kepada mereka yangberseragam guru tetapi mindset pegawai. Sepantasnya adalah ‘selamat hari buruh’ yang jatuh pada tanggal 1 Mei di tiap tahunnya.
Pemerintah hanya bisa diandalkan untuk mengamankan dunia pendidikan dengan memberikan bisyaroh atas jasa-jasa seorang guru yang menjadi peran utama dalam membangun peradaban. Tetapi pemerintah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban apabila ada seorang guru yang sehari-harinya mengajar tetapi bermental pekerja. Hadir, isi absen, menunaikan kewajiban, tetapi tidak memastikan bahwa murid-muridnya dengan pengajaran yang ia lakukan kelak akan benar-benar menjadi manusia dengan dan bisa diandalkan untuk melanjutkan peradaban dan kebudayaan bangsanya.
Tugas seorang guru sungguh berat sekali. Pantas apabila secara khusus ada hari yang mengistimewakan profesinya atas tugas-tugasnya. Bahkan kalau perlu dalam setahun hari guru terjadi lebih dari sekali, juga bisa dikatakan masih masuk akal. Untuk yang terakhir kalinya ‘selamat hari guru’ bagi para guru yang bertahan dengan ikhlas dalam kondisi gaji kecil. Bukan kepada guru sertifikasi, PPPK dan PNS.








