Frensia.id – Memang, hari-hari ini perempuan buka suara atau angkat bicara –istilah yang sedang ngetrend– speak up di media sosial ataupun curhat di podcast sudah menjamur.
Mereka tidak segan mencurahkan segala yang ia alami di Medsos sekalipun ia sadar sedang disaksikan ribuan atau bahkan jutaan orang.
Ada kesenjangan, idealnya rumah tangga harus ditutup rapat justru dibuka ke publik. Mengingat persoalan keluarga adalah persoalan yang sangat privasi.
Dalam filosofi ‘parebhasan’ masyarakat madura disebutkan “Mon abhengkang e amper, jhe’ ngala’ sapo’ ka tane’an” (jika telanjang dalam rumah, jangan ambil kain penutup di luar rumah).
Artinya jangan sampai persoalan rumah tangga secuil pun diketahui orang lain. Namun, hari ini tidaklah demikian. Sebagian orang kontra dengan speak up semacam ini karena keluarga adalah sistem, jika ia buka suara terkait rumah tangganya ia telah membuka aibnya sendiri.
Memberi tahu kepada publik tentang sistem yang tidak berhasil ia bangun, tentu itu tidak mungkin. Namun kita menyakini perempuan yang speak up soal rumah tangganya sudah memikirkan matang-matang pertimbangan tersebut.
Lalu kenapa mereka masih berani speak up di publik? inilah fenomena yang menarik.
Penulis sudah ungkap dalam tulisan sebelumnya trend perempuan speak up soal rumah tangga di medsos : nalar fiqh ramah perempuan. Setidaknya ada dua alasan : Pertama akses mencari keadilan dan kedua mengedukasi publik.
Pertama, akses mencari keadilan. Peneliti Institute For Criminal and Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengungkapkan media sosial dianggap efektif karena dianggap dapat menarik reaksi sosial atas apa yang dirasakan korban.
Walaupun seharusnya korban melaporkan apa yang dialaminya kepada penegak hukum. Nanum tidak dinafikan, laporan kepada penegak hukum terkadang mengalami kebuntuan.
Tak heran misalnya muncul istilah yang akhir-akhir ini mengemuka “No Viral, No Justice”. Seolah-olah keadilan, hukum dan aparat penegak hukum berpihak kepadanya jika sudah viral. Hal ini logis, sebab dengan viral akan memberikan legitimasi moral bagi aparat jika tidak segera direspon.
Kita diingatkan dengan kasus seorang anak dicabuli ayak kandungannya. Setelah Ibu korban angkat bicara kasus tersebut, kasus menjadi viral, publik ikut mengutuk dan akhirnya pelaku ditangkap. Ibu korban memilih speak up untuk menuntut keadilan, baginya keadilan jauh lebih utama daripada nama baik dan prestise rumah tangganya.
Kedua, edukasi penyadaran publik. Kasus yang sedang trending keberanian sosok perempuan yang juga neng di pesantren. Ia tentu sudah memikirkan matang tentang semuanya. Ia memilih jalur demikian untuk memberikan sanksi moral, penyadaran bagi laki-laki (suami) secara umum untuk menyelaraskan prilakunya dengan atribusi kemuliaan yang disematkan kepadanya.
Perempuan yang spaek up terkait rumah tangganya tentu dihadapkan setidaknya pada dua pilihan tersebut. Atara menjaga nama baik atau tuntutan keadilan yang dianggap sulit digapai tanpa ada gerakan semacam itu.
Semua orang pasti tidak mengingikan kondisi seperti ini. Namun kita tidak bisa menolak mereka yang memilih speak up privasi rumah tangga. Sebab Mereka memiliki alasan logis dan rasional serta selama menjaga etika berbicara dalam ruang publik. (*)
*MOH. WASIK (Akademisi dan Penggiat Filsafat Hukum UIN KHAS Jember)