Ada 3 Diskriminasi Pada Novel Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca”

Ada 3 Diskriminasi Pada Novel Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca”
Gambar Ada 3 Diskriminasi Pada Novel Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca” (Ilustrasi: Istimewa/Mashur Imam)

Frensia.id- Ada 3 macam diskriminasi pada novel karya Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca”. Karya fenomenal tokoh sastrawan tersohor Indonesia ini menjadi banyak memikat hari pencinta novel yang tertarik pada narasi-narasi perjuangan.

Novel setebal 646 ini dianggap sebagai penutup karya “Tetralogi Buruh” yang ditulis oleh Pramoedya. Dari beberapa 3 novel sebelumnya yang berjudul, “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa” dan Jejak Langkah”, narasi dalam cerita novel ini cukup menarik.

Pasalnya, walaupun sama memakai latar kolonial Belanda, Minke atau Tirto Adhi Soerjo dalam tokoh sebelumnya sudah tak lagi ada. Tokoh utamanya berganti pada Jacques Pangemanann, seorang polisi kolonial Belanda.

Bacaan Lainnya

Sebab itu juga, sudut pandang diskriminasi yang diceritakan dalam setiap penggal kisahnya lebih terasa. Tindakan intimidasi dan pengawasan melalui program rumah kaca pada tokoh nasional, Minke, lebih terasa.

Hal demikian yang mendorong Depri Ajopan dan dua rekannya yang sama dari Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang (UNP), Indonesia tertarik menelitinya. Ia berupaya menganalisis bentuk diskriminasi dalam kisah yang dituangkan oleh Pramoedya dalam novel tersebut.

Temuan penelitiannya telah dituangkan dalam sebuah jurnal. Pada tahun 2017, telah diterbitkan dalam Jurnal Bahasa dan Sastra UNP. Di riset tersebut mereka menyimpulkan bahwa setidaknya ada bentuk diskriminasi yang diungkap.

Diskriminasi Ras

Minke merupakan tokoh yang dapat dianggap sebagai kalangan pembesar Pribumi. Sosok berpengaruh dari ras lokal yang dianggap ancaman oleh kolonial.

Diskriminasi yang dilakukan kolonial sangat parah. Dikisahkan Minke mendirikan sekolah dan sayangnya, orang pribumi dilarang belajar di Lembaga tersebut.

Diskriminasi Gender

Dalam novel juga ada kisah tentang Suurhof dan Rintje de Roo. Suurhof meminta perempuan pelacur bertarif mahal secara arogan.

Perintahnya ini untuk menjebak Pangemanan, komisaris besar itu, saat ada pertemuan di rumah Rintje de Roo di Kwitang. Begitu Pangemanan datang, Rintje de Roo langsung mempersilakannya masuk. Dia bermuka manis dan siap melayani sesuai perintah Suurhof.

Tanpa basa-basi, dia langsung duduk di pangkuan tuan komisaris besar itu. Tetapi Pangemanan tidak mau tertipu.

Kisah ini memberikan kesan perempuan sebagai penghibur. Ada sisi yang terkesan merendahkan dalam kisah tersebut.

Diskriminasi Elit

Ada bentuk diskriminasi elit dalam penggalan kisah novel “Rumah Kaca”. Salah satunya, adalah ketika masyarakat biasa yang mendapatkan larangan dari Gubermen untuk mengenyam pendidikan.

Bahkan ada narasi yang tampak mengisahkan fenomena diskriminasi dari kaum elit pada kelas ekonomi lemah. Bagi orang lemah yang menghadap masalah, tidak akan pernah diurus oleh hukum.

“..Dengarkan baik-baik, karena ini perjanjian: kalau terjadi sesuatu atas dirimu dan anak buahmu, hukum takkan mengurus. Mengerti? apa masih perlu diulangi”,  tulis Pramoedya pada novel Rumah Kaca halaman 22.