Oleh: Sajad Khawarismi M.M.*
Frensia.id- Perguruan tinggi di Indonesia seharusnya menjadi laboratorium pemikiran bebas dan tempat lahirnya inovasi intelektual. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa integritas lembaga pendidikan tinggi mulai terkikis oleh pengaruh politik praktis.
Fenomena ini terlihat jelas pada kasus Bahlil di Universitas Indonesia (UI) yang menimbulkan pertanyaan besar tentang otonomi dan nilai-nilai keilmuan.
Dalam konteks ini, perlu kita telaah kembali esensialitas guru dan pendidikan sebagaimana dipaparkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa peran pendidik haruslah sebagai agen pembebasan dan pembentuk karakter bangsa.
Bukan malah sebagai budak yang ditunggangi oleh kepentingan diri sendiri atau orang lain, sehingga mencederai nilai luhur perguruan tinggi.
Politik dalam Lingkungan Akademik: Kasus Bahlil di Universitas Indonesia
Universitas Indonesia selama ini dikenal sebagai institusi perguruan tinggi yang besar serta memegang teguh prinsip kebebasan akademik dan keunggulan riset. Namun, kasus Bahlil menggambarkan adanya ketidakberesan ketika hubungan antara pejabat kampus dan kekuatan politik mulai mengaburkan batas antara urusan akademik dan kepentingan praktis.
Dalam kasus tersebut, tampak bahwa intervensi politik praktis turut menentukan kebijakan internal, sehingga keputusannya lebih mengutamakan agenda politik daripada nilai-nilai keilmuan.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mendorong kebebasan berpikir malah terjerat dalam kepentingan politik? Di sinilah nasehat dan pemikiran Ki Hajar Dewantara menjadi relevan.
Menurut beliau, pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga tentang pembentukan karakter dan pembebasan individu dari belenggu kebodohan. Esensial pendidik entah itu guru Paud, TK maupun tingkat dosen Universitas, menurut Ki Hajar, merupakan sosok yang menginspirasi dan membimbing murid agar mampu berpikir kritis serta mandiri.
Jika pejabat akademik terlibat dalam praktik politik yang sempit, maka mereka gagal menjalankan peran esensial tersebut dan menurunkan marwah institusi.
Dampak Negatif Politik Praktis terhadap Kualitas Pendidikan
Keterlibatan akademisi dalam politik praktis membawa dampak yang serius bagi kualitas pendidikan dan riset di perguruan tinggi. Pertama, adanya intervensi politik mengganggu independensi dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan yang dihasilkan seringkali lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu daripada mengoptimalkan potensi akademik dan inovasi. Hal ini berdampak pada menurunnya mutu penelitian dan pengajaran, yang pada akhirnya merugikan mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa.
Kedua, praktik politik praktis menyebabkan munculnya budaya korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Ketika kepentingan politik lebih diutamakan, maka meritokrasi di dunia akademik pun tergerus.
Dalam konteks esensial pendidikan, Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan sejati haruslah membebaskan. Guru atau pendidik yang ideal harus mampu mendorong murid untuk menggali potensi diri dan tidak membiarkan diri terperangkap dalam sistem yang mengekang. Namun, jika institusi pendidikan tinggi terjebak dalam pusaran politik, maka peran pendidik sebagai agen pembebasan tidak dapat dijalankan dengan maksimal.
Akibatnya, mahasiswa tidak mendapatkan teladan mengenai integritas dan semangat kebebasan berpikir yang seharusnya menjadi fondasi pengembangan karakter.
Selain itu, dampak negatif lain adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Ketika kasus seperti Bahlil muncul dan menyoroti adanya hubungan gelap antara politik dan akademik, citra perguruan tinggi sebagai lembaga yang netral dan berintegritas pun tercoreng.
Hal ini berpotensi menurunkan minat calon mahasiswa serta menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan.
Upaya Mengembalikan Marwah Perguruan Tinggi
Untuk mengembalikan marwah perguruan tinggi, diperlukan upaya strategis yang berakar pada nilai-nilai pendidikan sejati. Esensial guru dan pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara, harus menjadi pijakan utama dalam reformasi sistem pendidikan pada perguruan tinggi.
Pendekatan ini menekankan bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, melainkan juga pelopor pembebasan dan pembentukan karakter yang utuh. Oleh karena itu, institusi perlu memastikan bahwa proses rekrutmen dan penunjukan pejabat kampus dilakukan secara transparan dan berbasis meritokrasi, tanpa intervensi kepentingan politik yang sempit.
Langkah kedua adalah penegakan disiplin dan regulasi internal yang ketat. Institusi harus berani mengambil tindakan tegas terhadap praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Transparansi dalam pengelolaan dana penelitian dan kebijakan internal harus diutamakan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi.
Dengan demikian, perguruan tinggi dapat kembali menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya ide-ide inovatif dan riset berkualitas.
Selanjutnya, peran pendidik sebagai agen pembebasan harus dioptimalkan. Tenaga pengajar (Dosen) di perguruan tinggi hendaknya mampu menanamkan semangat kebebasan berpikir dan kemandirian kepada mahasiswa.
Pendidikan yang esensial menurut Ki Hajar Dewantara harus mengedepankan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan rasa tanggung jawab sosial.
Kurikulum yang mengintegrasikan pembelajaran karakter dengan ilmu pengetahuan dapat mencetak generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moralitas yang tinggi.
Dengan demikian, esensi pendidikan tidak hanya terbatas pada penguasaan materi, melainkan juga pada pembentukan kepribadian yang bebas dari belenggu kepentingan yang sempit.
Penulis : *Jurnalis Alienasi Dan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember