Frensia.id- Akademisi Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Shiddiq (UIN KHAS), M. Arif Mustaqim, melihat adanya peningkatan jumlah mahasiswa kampusnya yang nikah siri. Fenomena ini menarik perhatiannya.
Ia melakukan penelitian dnegan menggunakan Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger . Hal yang bersuaha diungkapnya adalah proses terbentuknya pemahaman dan perilaku terkait nikah siri.
Setalah melakukan penelitian dengan seksama, ia menemukan bahwa kesadaran para informan tentang nikah siri terbentuk melalui tiga fase dialektika: eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Temuan ini telah dipublikasi pada tahun 2023 lalu di Digilib UIN KHAS sendiri.
Eksternalisasi adalah proses di mana mahasiswa mengekspresikan pemikiran dan nilai-nilai mereka ke dalam tindakan nyata, dalam hal ini memilih nikah siri untuk menghindari dosa selama masa lamaran dan interaksi pra-nikah.
Objektifikasi terjadi ketika tindakan ini menjadi bagian dari realitas sosial yang diterima oleh mahasiswa sebagai cara yang sah untuk menghindari perbuatan dosa.
Terakhir, internalisasi. Tahapan ini merupakan fase di mana pemahaman mengenai nikah siri ini diterima secara individu sebagai bagian dari nilai-nilai pribadi mereka.
Selain itu, ia juga menemukan bahwa terdapat perbedaan pandangan di kalangan mahasiswa mengenai makna nikah siri. Sebagian mahasiswa melihatnya sebagai langkah formal untuk mendapatkan pengakuan sebagai pasangan tanpa melibatkan hak-hak yang umumnya diperoleh pasangan suami istri, seperti hak untuk tinggal bersama atau melakukan hubungan seksual.
Bagi kelompok ini, nikah siri dipahami sebagai cara untuk menjaga moralitas tanpa melanggar aturan agama. Sementara itu, sebagian mahasiswa lainnya memahami nikah siri sebagai sarana untuk memperoleh kelonggaran dalam menjalani hubungan yang lebih intim, termasuk hubungan seksual, meskipun secara sosial dan legal tidak tercatat.
Dampak dari praktik nikah siri ini sangat dirasakan oleh mahasiswi yang terlibat. Praktik ini menempatkan perempuan pada posisi yang sulit, terutama karena akses mereka untuk mengambil keputusan dalam hubungan ini terbatas.
Ketidakjelasan tentang hak-hak perempuan dalam nikah siri, khususnya terkait status hukum anak yang lahir dari pernikahan siri, serta dampak perceraian, semakin memperburuk kondisi ini. Bagi mahasiswi, praktik nikah siri seringkali membingungkan posisi mereka dalam hubungan, mengaburkan batasan antara hak-hak yang seharusnya mereka peroleh dengan peran yang dipaksakan oleh norma sosial dan agama.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa praktik nikah siri di kalangan mahasiswa bukan hanya sebuah cara untuk menghindari dosa, tetapi juga mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai sosial, agama, dan hak-hak individu, terutama bagi perempuan yang berada dalam situasi yang rentan.