Aksi Hakim Mogok Kerja, Rakyat Kecil Kembali Jadi Korban, Dimanakah Negara ?

Frensia. id – Kabar para hakim mogok kerja menyeruak di seantero Indonesia, dari informasi yang berkembang hakim akan cuti kerja secara berjamaah di mulai tanggal 7 hingga 11 oktober 2024. Aksi ini mereka lakukan untuk menuntut kenaikan gaji dan kesejahteraan, yang dianggapnya masih belum sepenuhnya sesuai dengan beban kerja yang amat berat, yani menegakkan keadilan.

Fenomena ini menghadirkan dilema besar, utamanya para pihak yang berperkara, penundaan satu hari bagi mereka bukanlah hal sepele. Di satu sisi, tuntutan para hakim untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 94 Tahun 2012,– yang tidak relevan standar hidup saat ini–patut mendapatkan perhatian.

Pasalnya selama dua dekade, gaji hakim belum pernah mengalami perubahan yang sesuai dengan kesejahteraannya, sementara mereka adalah ‘wakil tuhan’ yang berada di garis depan menjaga keadilan di bumi pertiwi ini. Namun demikian, patut pula dipertanyakan apakah aksi mogok para hakim sudah tepat? Apalagi dilihat dari aspek kemanfaatan?

Siapapun tidak bisa menutup mata bahwa aksi mogok kerja ini akan memperlambat terpenuhinya keadilan, terutama bagi para pihak yang ‘segera’ membutuhkan putusan, biasanya mereka rakyat kecil. Ketika para hakim menunda persidangan, rakyat yang sedang memperjuangkan hak-haknya, harus berbesar hari menunggu lebih lama. Terkecuali, hal ini sudah dipikirkan dengan matang oleh para hakim.

Bagi sebagian masyarakat, penundaan persidangan bisa sangat berarti untuk bagi mereka, misalnya dalam kasus penceraian, tertundanya persidangan bisa mengantungkan harapan yang tak pasti. Pasalnya para pihak yang sudah mendaftar cerai sudah menyusun langkah pesca putusan cerai, seperti merantau atau ia akan lebih fokus dalam dunia kerja.

Semua pertimbangan itu tentu hak mereka yang tidak boleh ditunda dan disepelekan. Persidangan yang tertunda sama dengan keadilan yang tertunda pula. Jika hal ini benar-benar terjadi, lagi-lagi rakyat kecil menjadi korban ketidakadilan sistemik. Akibat pemerintah tidak memberikan kesejahteraan yang patut bagi hakim, merekapun mogok kerja, rakyat yang menerima getahnya.

Idealnya tidak demikian, rakyat dalam posisi ini tidak boleh menerima getahnya, walaupun hanya setetes, sebab bukan mereka dalangnya. Ketidakpuasan para hakim atas gaji dan kesejahteraannya tetap harus diekspresikan, tetapi dengan tidak mogok kerja.

Bisa mereka menyuarakan langsung secara serentak di hari libur dan sebagainya. Aspirasi tetap tersalurkan, tanpa mengorbankan para pihak. Jika sampai tertunda, ada beberapa puluhan para pihak yang harus tertunda keadilannya.

Akar masalahnya adalah negara yang belum serius memberikan kesejahteraan pada hakim. Mestinya negara dengan cepat merespon dan memerhatikan suara dan aspirasi para hakim.

Dengan membiarkan standar kesejahteraan hakim yang tidak layak, pemerintah secara tidak langsung telah menciptakan celah dan keroposnya sistem peradilan. Acuh tak acuhnya negara menseriusi kesejahteraan pada penegak hukum, kerugian yang menanggungnya adalah rakyat.

Buktinya, ketika hakim mogok kerja, persidangan pun otomatis mogok, jika demikian siapa lagi yang rugi kalau bukan rakyat yang berperkara. Rakyat terpaksa menerima getah dan dampak buruk dari kebijakan yang lamban ini. Rakyat tidak henti-hentinya menjadi korban atas ketidak seriusan negara.

Tidak hanya itu, aksi mogok ini akan menjadi preseden buruk di masyarakat, bahkan menjadi contoh bagi mereka yang bernasib sama. Misalnya guru honorer atau guru madrasah, dimana gaji dan kesejahtaraannya sama sekali tidak tersentuh.

Bicara tugas, mereka tidak kalah penting dengan hakim, mencerdaskan anak-anak negeri ini, meski ongkos hidupnya tak diurusi oleh negara. Bukan tidak mungkin akan ada atau terulang kembali guru honorer mogok ngajar.

Disinilah negara harus benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka, dalam konteks ini negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa keadilan tetap didapatkan masyarakat, tanpa ada jeda penundaan. Kunci utamanya ada di pemerintah atau mereka yang memiliki wewenang untuk menuntaskan masalah ini, agat tidak berkelanjutan dan tidak berimbas pada rakyat kecil.