Frensia.id- Imam Al-Ghazali merupakan figur besar dalam deretan intelektual muslim. Sekalipun usianya dalam hitungan tahun Hijriyah sekitar 55 tahun (450 H-550H), tetapi pengaruhnya sangatlah besar di era-era sesudahnya.
Selain mendalami berbagai disiplin agama, pengetahuan Al-Ghazali juga merambah pada persoalan-persoalan filsafat, salah satu karya sang hujjatul islam ini yang mendapatkan perhatian dari para cerdik cendekia selanjutnya adalah Tahafut Al-Falasifah.
Buku tersebut sesuai dengan judulnya, berisi mengenai sanggahan-sanggahan yang dilontarkan kepada para filosof muslim yang telah mengkaji filsafat Yunani.
Orientasi yang dilakukan oleh Al-Ghazali tidak lain adalah menjaga kesucian iman umat Islam, yang nyaris tertikung oleh filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para cendekiawan muslim, pada era sebelumnya.
Salah satu tema yang cukup krusial dan menjadi salah satu tema pembahasan dalam buku tersebut adalah mengenai sebab-akibat.
Pada tema ini, Al-Ghazali terlihat jelas sebagai seorang pembela ajaran Al-Asy’ary. Menjadi menarik dengan cara yang digunakan, ia mengajukan argumentasi-argumentasi filosofis untuk menunjukkan kerancuan-kerancuan pikiran-pikiran para filosof.
Sikap ini menunjukkan bahwa Al-Ghazali sebelum melakukan gertakan ia sendiri telah menguasai peta pemikiran dan kedalaman-kedalamannya. Tidak sekedar ujaran yang bersifat sentimental melainkan didasarkan dengan data dan analisis yang ketat.
Menurutnya pembahasan mengenai sebab-akibat akan mempengaruhi keyakinan seseorang tantang mu’jizat.
Sebagaimana lazimnya, mu’jizat adalah suatu kejadian yang luar biasa (khariq al-adat) dan keluar dari akal pikiran manusia.
Apabila seseorang menerapkan hukum sebab-akibat secara total. Dapat dimungkinkan ia tidak akan mempercayai hal-hal luar biasa yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.
Menurut Al-Ghazali sebab-akibat berjalan tidak secara pasti, sebab dalam sebuah peristiwa yang terjadi akan selalu menjadi kemungkinan sampai Allah sendiri lah yang memberikan kepastian terhadap hal tersebut.
Semisal, seseorang yang membanting piring, sesuai dengan kebiasaan yang terjadi piring tersebut akan pecah. Oleh karena itu akan dibuat sebuah kesimpulan bahwa bantingan adalah sebab dan pecahnya piring adalah akibat.
Pendapat tersebut jelaslah tidak benar, karena segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil dari kehendak Allah. Apabila piring itu pecah artinya Allah menghendaki pecah, jika tidak maka Allah pun tidak menghendaki.
Dengan demikian hukum yang meliputi pada sebuah benda berlaku selama dikehendaki oleh Allah. Sedangkan sebab-akibat merupakan salah satu bentuk dari kehendak Allah dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lain yang saling bertabrakan sekalipun dengan sample yang sama.
Para filosof muslim mengingkari kejadian Nabi Ibrahim yang tidak terbakar, kecuali sifat membakar yang ada pada api tiada atau Nabi Ibrahim kala itu berubah menjadi materi yang tidak terbakar.
Sedangkan bagi Al-Ghazali, api tidak mampu membuat terbakar kecuali mendapatkan izin dari Allah untuk melakukan kebiasaannya. Semuanya menjurus kepada kuasa dan kehendak dari Allah.
Jadi ketika Nabi Ibrahim tidak terbakar entah karena ada perubahan materi atau perubahan sifat api pada hakikatnya atas izin Allah. Sedangkan alasan tersebut hanyalah perantara saja.
Upaya yang dilakukan oleh Al-Ghazali tidak lain untuk menjaga kemurnian aqidah umat islam agar tidak melenceng dari sesuatu selain Allah.
Ketika ia berpendapat bahwa tidak terdapat kepastian atas hasil sebab-akibat kecuali dengan izin Allah, berarti ia sedang menunjukkan kelemahan akal manusia yang selalu terpaku pada salah satu mekanisme perubahan di alam ini.
Karena terdapat sebuah mekanisme yang berjalan sendiri diluar akal manusia dan bukan bagian dari cara dan materi yang bisa diserap oleh akal.