Frensia.id – Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), hari ini tidak hanya dipandang sebagai revolusi teknologi, namun kehadirannya turut mengundang fenomena hukum yang menghendaki perhatian serius. Sebagai teknologi yang bisa mempermudah cara kerja manusia, berkomunikasi bahkan menentukan sebuah keputusan, AI memicu masalah hukum yang tidak sepele.
Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang akan memikul tanggung jawab atas keputusan yang dilakukan oleh AI.? Dalam Sistem hukum, AI kerap dianggap sebagai objek hukum, sementara beberapa pakar yang berpandangan bahwa AI seharusnya menjadi subjek hukum, ia penuhi seperangkat kewajiban meski tak sama persis dengan manusia sebagai subjek hukum.
Study yang dilakukan oleh Rangga Hotman Hasibuan dan kolega-koleganya dalam Artificial Intelligence in the Auspices of Law: A Diverge Perspective mengungkapkan bahwa pencipta AI bisa dimintai pertanggungjawaban melalui doktrin vicaiuos liability. Dimana pembuat AI juga ikut memikul tanggung jawab.
Seperti jamak diketahui doktrin vicarious liability atau tanggung jawab pengganti merupakan doktrin hukum yang menyatakan bahwa seseorang dapat bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Doktrin ini sering diterapkan pada hubungan tertentu, seperti antara majikan dan karyawan.
Namun, persoalan muncul mengenai pembuat AI, apakah ia seharusnya kebal hukum. Pencipta AI mendapat kekebalan hukum berlebihan, seperti mereka bebas dari tanggung jawab atas kerusakan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh AI yang mereka rancang. Ini akan menjadi masalah besar, perancang IA seenaknya dan kurang hati-hati mengembangkan teknologi, sehingga eksplorasi inovasi tidak lagi aman, etis dan merugikan masyarakat.
Sebaliknya, Pembatasan yang ketat dalam penciptaan AI merujuk pada regulasi atau aturan hukum yang terlalu kaku, seperti beban tanggung jawab hukum yang berat atau larangan terhadap inovasi. Hal ini dapat membuat pencipta AI enggan mengambil resiko untuk mengembangkan teknologi baru, termasuk yang mendukung nilai-nilai etis seperti keadilan, transparansi, atau keamanan.
Akibatnya, perkembangan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat justru berpotensi terhambat.
Lebih jauh lagi, Rangga Hotman Hasibuan dalam jurnal mimbar hukum Universitas Gadjah Mada menekankan hukum harus mempertimbangkan bagaimana cara mengatur tanggung jawab AI sebagai subjek hukum.
Dengan memandang AI sebagai subjek hukum turunan, menurutnya dapat memberikan kewajiban hukum, tetapi tanpa memberikan hak yang sama dengan manusia. Ini memberikan perlindungan hukum yang lebih adil tanpa mengabaikan dampak sosial dan etika yang mungkin ditimbulkan.
Di Indonesia, tantangan utamanya adalah bagaimana sistem hukum yang ada dapat mengikuti laju perkembangan teknologi AI yang sangat cepat. Regulasi yang ada sering kali tidak mampu mengimbangi kemajuan teknologi ini, menciptakan ketidakpastian hukum yang harus segera diatasi.
Untuk itu, pemerintah Indonesia telah mulai mengembangkan Strategi Nasional Kecerdasan Buatan, sebagai langkah awal dalam mengintegrasikan AI ke dalam kerangka hukum yang lebih jelas dan bertanggung jawab.
Kolaborasi antara ahli hukum, teknolog, dan pembuat kebijakan menjadi sangat penting untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih fleksibel dan adaptif. Dengan demikian, Indonesia dapat memanfaatkan potensi AI secara optimal, sambil tetap memperhatikan nilai-nilai etika dan sosial yang penting.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi ini, inilah saatnya untuk menciptakan hukum yang tidak hanya mengatur. Tetapi juga, memandu menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.