Frensia.id- Semua muslim pada bulan Ramdhan, wajib melaksanakan puasa. Salah satu batalnya puasa adalah memasukkan benda ke tubuh. Lantas bagaimana bagi orang yang diwajibkan cuci darah karena faktor kesehatan?
Hal demikian sebenarnya telah banyak dikaji oleh beberapa pakar agama, utamanya tokoh Nahdlatul Ulama’. Organisasi ini memiliki banyak tokoh yang fokus mengkaji hukum-hukum fiqh kontemporer dalam Islam.
Salah satunya adalah, Prof. Dr. KH. Imam Ghozali Said. Ia adalah salah satu tokoh senior dari Ikatan Keluarga Alumni Nahdlatul Ulama (IKA-NU) di Mesir. Beliau menempuh pendidikan di Mesir pada awal tahun 1980-an.
Ia menjadi salah satu figur penting dalam jaringan dan komunitas NU di Mesir, memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan serta pemahaman ajaran-ajaran Islam di IKA-NU.
Pada konteks problematika ibadah puasa, ia menulis buku berjudul, “Puasa dalam Dimensi Fiqh Sufistik”. Buku diterbitkan oleh Harian Bangsa pada tahun 2018 kemarin.
Pada buku tersebut, ia menceritakan bahwa ada seorang dokter dari Surabaya menanyakan tentang dirinya yang harus cuci dara di bulan puasa. Intinya, ia bertanya, “Apakah cuci darah yang dilakukan ayahnya dapat membatalkan puasa?”.
Pertanyaan ini sangat masuk akal, sebab Proses “cuci darah” atau hemodialisis biasanya memerlukan pemberian cairan dan penggunaan perangkat medis untuk membersihkan darah dari limbah dan zat-zat berbahaya karena ginjal tidak lagi berfungsi secara optimal.
Sedangkan dalam Islam, hukum puasa berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Dalam kasus orang yang menjalani hemodialisis, proses ini biasanya membutuhkan pemberian cairan intravena untuk menggantikan cairan yang hilang selama proses, serta mungkin adanya penggunaan obat-obatan yang diberikan melalui saluran intravena juga.
Kedua hal ini dapat memengaruhi keadaan tubuh secara signifikan. Dalam banyak kasus, ulama mengizinkan orang yang menjalani hemodialisis untuk tidak berpuasa karena kondisi kesehatan mereka dan kebutuhan untuk minum dan menerima cairan yang sangat penting untuk menjaga kestabilan fisik mereka. Kesehatan dan keamanan seseorang dalam hal ini menjadi prioritas utama.
Menanggapi hal ini Prof Ghozal Said menjelaskan bahwa proses “cuci darah” yang dialami oleh ayahnya secara teknis memenuhi kriteria membatalkan puasa dalam Islam. Ini karena proses tersebut melibatkan memasukkan bahan-bahan cair ke dalam tubuh secara sengaja, yang termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa.
Namun, dalam Islam, ada pengecualian yang diberikan untuk orang-orang yang sakit atau dalam kondisi darurat. Sebabnya, cuci darah merupakan bagian dari perawatan yang diperlukan untuk kesehatan ayah Anda, maka hukum Islam memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Baginya, kesehatan dan keselamatan seseorang diutamakan dalam Islam. Jika memungkinkan, melakukan proses cuci darah pada malam hari akan lebih baik untuk menjaga ibadah puasa.
Namun, jika kondisi memerlukan cuci darah pada siang hari, maka ayahnya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Dalam hal ketidakmampuan untuk berpuasa karena kondisi kesehatan yang kronis, seperti yang dialami oleh ayah dokter tersebut.
Islam memberikan dispensasi. Ayahnya dapat membayar fidyah sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan, yaitu memberikan makanan pokok seberat 1 mud (sekitar 1,25 kg) kepada orang miskin setiap kali ia tidak berpuasa.
Semua ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam agama Islam yang menekankan rahmat, kemanusiaan, dan pengecualian dalam kondisi-kondisi tertentu yang memerlukan perlakuan yang berbeda sesuai dengan keadaan tertentu juga.
Hal demikian sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“…dan diwajibkan bagi orang-orang yang tidak mampu berpuasa untuk memberi membayar fidiah berupa makanan kepada orang miskin…” (Qs. al-Baqarah [2] : 184)