Frensia.id – Biaya tahlilan yang sangat mahal, terkadang menyebabkan fenomena keluarga shahibul musibah sampai rela berhutang.
Fenomena demikian yang sering terjadi di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), menjadi salah satu bahasan Bahtsul Masail yang digelar di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Bahtsul Masail yang berlangsung pada 17-18 November 2024 ini ditashih langsung oleh KH Afifuddin Muhajir, dilaksanakan dalam rangka menyambut Haul Majemuk Masyaikh dan keluarga besar Pesantren Sukorejo.
Tahlilan, tradisi sosial-keagamaan yang melibatkan pembacaan dzikir dan doa setelah kematian, telah menjadi kewajiban yang tak terpisahkan bagi warga NU.
Namun, pelaksanaan tahlilan seringkali menimbulkan permasalahan, terutama terkait biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga yang ditinggalkan.
Kebiasaan ini, yang berlangsung hingga tujuh hari setelah kematian, membuat banyak keluarga merasa tertekan untuk menyajikan hidangan bagi para tamu.
Dalam banyak kasus, mereka bahkan harus berhutang atau menggunakan harta peninggalan almarhum untuk membiayai acara tersebut.
Fenomena ini menyoroti adanya budaya di mana keluarga yang tidak melaksanakan tahlilan akan menjadi bahan pergunjingan di lingkungan sosial mereka.
Hal ini menjadikan tahlilan seolah sebagai kewajiban yang harus ditunaikan, bahkan jika itu berarti mengorbankan hak-hak ahli waris atau menunda pelunasan utang-utang almarhum.
Dalam pandangan keagamaan, ada perbedaan mendasar antara tahlil dan tahlilan. Tahlil, yang merupakan pembacaan lafadz “la ilaha illallah”, merupakan bentuk zikir yang disyariatkan untuk memperbaharui iman.
Sedangkan tahlilan adalah suatu ritual yang meliputi zikir, shalawat, takbir, tahmid, tasbih, dan ditutup dengan doa serta sedekah bagi almarhum.
Bagi kalangan ahlussunnah wal jamaah, tahlilan diyakini dapat memberikan manfaat bagi yang telah meninggal.
Namun, pertanyaan penting muncul terkait hukum tahlilan, terutama bagi keluarga dengan status ekonomi lemah.
Ahli waris memiliki tanggung jawab untuk melunasi zakat, wasiat, dan utang dari almarhum sebelum membagikan sisa harta waris.
Menurut pihak berwenang, harta peninggalan tidak seharusnya digunakan untuk biaya tahlilan, kecuali ada kesepakatan antara seluruh ahli waris yang dewasa.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa tahlilan dapat dilaksanakan tanpa harus memaksakan diri, berhutang, atau berlebihan.
Komunikasi yang baik antara ahli waris dan pemahaman akan kewajiban syariat diharapkan dapat membantu keluarga untuk menjalankan tradisi ini dengan cara yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.