Frensia.id Agama bukan sekadar susunan kewajiban yang menuntut pelaksanaan, melainkan jalan kehidupan yang menuntun kesadaran. Ia bukan sekadar langit yang tinggi, tetapi juga tanah tempat kaki berpijak. Maka bila seseorang mengaku berjalan menuju Tuhan, ia tak boleh melewatkan manusia di sepanjang jalan itu.
Dalam Islam, dua hari raya besar menjadi pengingat bahwa agama tak pernah berpaling dari kemanusiaan. Idul Fitri, yang datang setelah Ramadan, bukan sekadar penanda usainya puasa. Ia adalah perayaan kemenangan atas diri sendiri. Tetapi lebih dari itu, ia adalah kemenangan yang dibagi, bukan dirayakan sendiri.
Di sana ada zakat fitrah—bentuk paling nyata dari kepedulian yang dilembagakan dalam ibadah. Sebelum salat dimulai, sebelum takbir dikumandangkan, orang-orang diperintahkan mengingat mereka yang barangkali tak punya apa-apa untuk dirayakan.
Zakat fitrah adalah jalan agar kegembiraan tidak menjadi milik eksklusif mereka yang berkecukupan. Ia adalah titian agar mereka yang serba kekurangan pun ikut duduk dalam satu hamparan hari raya. Ini bukan soal pemberian, tetapi pemulihan. Sebab kegembiraan yang tak adil adalah luka yang tersembunyi. Dan agama tak rela luka itu dibiarkan menganga di tengah gema takbir.
Lalu Idul Adha datang. Hari raya ini dikenang lewat kisah pengorbanan. Tapi agama tak berhenti pada kisah. Ia melangkah lebih jauh: menyuruh menyembelih hewan, dan membagikan dagingnya kepada yang membutuhkan. Ritual ini bukan semata-mata simbol ketakwaan, tetapi juga gerakan sosial yang nyata. Daging qurban tak boleh ditimbun untuk diri sendiri. Ia mesti berpindah tangan, dari yang mampu kepada yang kurang. Dari mereka yang berlebih kepada yang tak punya.
Inilah wajah agama yang seimbang—antara langit dan bumi, antara kesalehan personal dan tanggung jawab sosial. Idul Fitri mengajarkan tentang menahan diri, lalu berbagi. Idul Adha mengajarkan tentang mengorbankan yang dicinta, lalu memberi. Dua-duanya mengajarkan satu hal yang sama: bahwa agama tak pernah mengizinkan kita sampai kepada Tuhan dengan memunggungi sesama.
Dalam setiap ibadah besar Islam, selalu ada unsur pengingat bahwa kita hidup bersama. Bahwa kebaikan bukan hanya soal hubungan vertikal, tapi juga horizontal. Bahwa menyembah Tuhan tak akan pernah lengkap bila hati kita beku terhadap jeritan tetangga, terhadap lapar yang mengintai anak kecil di lorong-lorong sunyi.
Agama, sejatinya, bukan hanya mengatur cara kita beribadah. Ia mengatur cara kita menjadi manusia. Maka dua hari raya ini bukan sekadar selebrasi. Ia adalah cermin. Kita diminta bertanya: sudahkah kita ikut membuat yang lain bergembira? Sudahkah kita tidak menutup mata atas kesusahan orang lain? Karena ukuran kemuliaan bukan pada panjangnya doa, tapi pada seberapa besar kita menjadi jawaban atas doa orang lain.
Dari Idul Fitri hingga Idul Adha, ajaran Islam menuntun kita untuk tidak menjadi individu yang sibuk menggapai surga sendirian. Surga itu luas, dan jalannya dibuka bagi mereka yang rela berbagi, yang tak tega menutup mata ketika ada ketidakadilan, dan yang hatinya resah melihat kebahagiaan yang timpang.
Inilah agama yang tak terjebak dalam ritual kosong. Ia hadir di dapur orang miskin, di tangan yang memberi, di senyum yang ditularkan, dan di rasa syukur yang tak hanya ditumpuk dalam hati, tapi dipecah agar bisa disantap bersama.
Agama, jika benar dipahami, tak akan pernah membiarkan manusia hidup sendirian dalam derita. Sebab agama adalah cahaya yang datang dari langit, tapi tujuannya adalah menerangi bumi.